Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mengapa Banyak Orang "Ogah" Mengompos?

16 Juni 2024   16:00 Diperbarui: 19 Juni 2024   18:31 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Herbert dari Pixabay

Jalan hampir satu bulan mengompos, saya akui membuat kompos bukanlah perkara mudah.

Mulai dari menyetor sampah makanan di pagi hari, mengumpulkan dedaunan kering, meracik bio aktivator, hingga mengaduk-ngaduk isi kompos setiap minggunya.

Terlebih bagi saya yang harus bersiap-siap kerja sejak jam 6 pagi, membuat kegiatan mengompos jadi terburu-buru dan tidak kekontrol.

Tidak jarang saya mendapat respon keheranan dari teman yang mengikuti cerita mengompos saya di Instagram: "rajin banget sih...", "mengompos kan nanti banyak cacing, ya?", "gue orangnya jijikan deh," dan beberapa komentar lain.

Hal ini membuat saya sadar bahwa kegiatan mengompos selain tidak mudah, juga masih sepi peminat.

1. Proses yang lama dan melelahkan

Sebagai generasi yang hidup di era serba instan, harus saya akui bahwa mengompos bukan kegiatan yang hasilnya bisa diketahui secara instan.

Waktu minimal yang dibutuhkan sejak pengumpulan sampah hingga proses penguraian selesai, mencapai 40 hari. Itu pun jika kita memakai materai coklat yang cepat mengurai, seperti tanah atau cocopeat.

Jika kita hanya memakai dedaunan kering, tidak ditambah bio aktivator dan jarang diaduk, membuat proses pengomposan berjalan lebih lama. Bisa-bisa mencapai enam bulan hingga satu tahun.

Proses yang panjang ini membuat sebagian orang akhirnya tidak tahan dan memilih menyudahi saja.

Jika kita lihat sisi baiknya, mengompos sebenarnya mengajarkan kita untuk kembali menghargai proses: bahwa tidak ada sesuatu yang instan. Bahkan mie instan sendiri membutuhkan waktu dan proses yang panjang hingga bisa dimasak dalam waktu kurang dari 3 menit.

2. Bau dan jijik

Mengompos identik dengan sampah. Hal ini yang menyebabkan bau menyengat dan hewan kecil menjijikan tidak bisa terhindarkan.

Semut, lalat, kaki seribu, dan lintah, adalah contoh hewan-hewan yang saya temui dalam mengompos. Belum lagi bau busuk, lengket, juga si tikus yang suka mengobrak-abrik tempat komposter, membuat saya ingin berteriak: AARRGHHH…

Namun setelah saya pelajari, kompos yang baik seharusnya tidak berbau dan tidak dihinggapi serangga.

Jika kompos mulai berbau menyengat, itu disebabkan sampah yang terlalu basah. Maka dari itu material coklat seperti daun-daun kering, tanah, atau cocopeat perlu ditambahkan. Bahan tersebut kaya akan unsur karbon sehingga bisa menyerap bau. Selain itu, bio aktivator juga ampuh untuk menyamarkan bau pembusukan.

Ketika kompos tidak becek dan tidak berbau, serangga seperti semut dan lalat pun akan hilang dengan sendirinya.

Namun jika kamu masih menemui hewan-hewan seperti siput dan cacing, biarkan saja. Mereka justru membantu untuk mempercepat proses penguraian.

Ibarat kata, don't judge a book by its cover. Meskipun kelihatannya jijik, jasa mereka sangat berharga lho bagi pengomposan.

3. Butuh lahan untuk penyimpanan

Dikarenakan prosesnya yang lama (satu bulan hingga satu tahun), mengompos membutuhkan lahan yang cukup besar untuk penyimpanan.

Kompos akan menghasilkan air lindi, yaitu air dari sampah organik yang turun dari lubang-lubang komposter. Maka dari itu kompos lebih baik ditaruh di luar rumah, agar tidak mengotori lantai dan menimbulkan bau tak sedap.

Pun tidak sembarang tempat bisa kamu pakai. Pastikan area penyimpanan terhindar dari hujan agar tidak menambah air di komposmu sehingga menimbulkan bau busuk.

Juga jangan menaruh ember komposmu terlalu jauh, karena bisa-bisa dipungut oleh pemulung #uhuk (pengalaman pribadi).

Jika rumahmu memiliki halaman kebun, selamat! Kamu bisa menaruh kompos-komposmu di kebun itu. Karena tidak semua orang dapat membuat kebun di tanah Jakarta yang harganya… ah, sudahlah!

Segala sesuatu yang diniatkan pasti akan jadi, meskipun beribu tantangan hadir menghampiri.

Jangan 'ogah' mengompos yaa, Kompasianer <3 

. . .

Tutut Setyorinie

16 Juni 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun