Menghapus Normalisasi Politik Dinasti
Politik dinasti memang ramai terjadi, tapi apa itu menjadi alasan kita untuk menormalisasi?
Pernyataan ini sebenarnya datang dari salah satu teman yang mengatakan, "Sah-sah saja politik dinasti, toh itu sudah biasa terjadi. Sejak dulu, hingga sekarang di dunia pekerjaan."
Politik dinasti dan kuasa orang dalam, memang masih sangat kuat pengaruhnya di Indonesia.
Terbukti dari level terendah seperti mendapat pekerjaan, pembuatan SIM, hingga mendapat jabatan strategis di DPR, Walikota, dan Wakil Presiden, membutuhkan perpanjangan tangan dinasti.
Bukan tanpa resiko, politik dinasti menimbulkan celah untuk melakukan korupsi dan nepotisme. Di kasus Presiden Soeharto dan Ratu Atut, KKN bahkan sudah terbukti terjadi.
Di sisi lain, orang layak dan kompeten semakin tersingkir untuk mendapat tempat di pemerintah. Mereka yang berupaya menjegal dinasti biasanya berakhir tak layak atau dihapus jejaknya seperti Munir.
Untuk itu butuh kerjasama dari masyarakat, pemimpin partai politik, serta pemangku kebijakan untuk membangun kembali Indonesia sebagai negara demokrasi.
Pupuk lagi unsur pluralisme, tarik orang-orang kompeten dan biarkan mereka membangun negeri. Karena politik bukan bisnis keluarga, melainkan bisnis sebuah bangsa untuk membentuk peradaban.
"Bahaya terbesar adalah ketakutan dalam kepala kita. Ketakutan yang disebarkan sistem yang ada kepada kita. Ketakutan inilah rintangan terbesar dalam perjuangan." -Munir
. . .