Sebagai makhluk yang penuh perhitungan, kita memang lebih mudah menerima kelebihan seseorang (kegantengannya, perhatiannya, traktirannya, dan seterusnya...), namun sulit sekali untuk beradaptasi dengan satu kekurangan.
Untungnya masing-masing dari kita memiliki seorang ibu. Yang hakikat mencintainya sepanjang jalan: tak terputus, tak terhingga, tak mengharap balasan.
Lalu, bagaimana cara mencintai takdir?
"Formula untuk keagungan manusia adalah amor fati, yaitu tidak ingin apa pun menjadi berbeda." -Friedrich Nietzsche
Mencintai takdir menurut Nietzsche sesederhana mencintai apa yang ada, tidak ingin apa pun menjadi berbeda.
Jika harus terciprat lumpur hari ini, maka Nietzsche akan mensyukurinya. Karena ia yakin, cipratan lumpur adalah bagian dari takdir, sebuah siklus alam yang telah terjadi selama ribuan tahun.
Tapi masa sih kita harus mensyukuri keadaan baju kita yang bermotif baru karena lumpur?
Kata orang, cinta itu butuh proses.
Kita nggak bisa ujug-ujug suka sama seseorang, apalagi mencintainya dengan sepenuh hati. Ada kebiasaan jahilnya yang kita adaptasi. Ada suara ngorok dan bau keteknya yang harus kita biasakan.
Begitu juga dengan Amor Fati. Sebelum mencintai takdir, kita harus belajar bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa kendalikan dengan dikotomi kendali.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!