Sial banget baju gue kecipratan lumpur! Gagal fesyen show deh hari ini.
Kenapa sih ban harus bocor pas lagi mepet berangkat kerja!
Pake mati lampu lagi, drama korea di tivi kan belum selese. Hadeuuh...
Jika saja kamu perhatikan, emosi negatif atau yang lebih sering disebut dengan misuh-misuh, sering kali datang tanpa aba-aba.
Coba saja kamu berjalan ketika tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang, dengan membawa seciprat lumpur untuk baju kesukaanmu. Apa reaksi otomatis yang kamu keluarkan kepada pengemudi tersebut?
Akankah kamu mengatakan, "Terima kasih ya, sudah menciprati lumpur. Kebetulan motif baju saya semakin indah ketika terkena lumpur."
Atau kamu justru menyalak kepada si pengemudi dengan nyala api yang menyembur dari hidung dan mulut, "Pake mata dong kalo bawa mobil, udah tahu ada lumpur dan ada ORANG!"
Reaksi kedua mungkin akan lebih sering kamu temui di jalan, meski dengan berbeda penekanan (bisa lebih sopan, juga lebih kasar).
Ibarat boneka Woody yang langsung mengeluarkan kata-kata ketika ditarik tuasnya, kamu juga akan langsung misuh-misuh ketika kejadian buruk menimpamu.
Dikotomi Kendali, pijakan menuju Amor Fati
Pada artikel sebelumnya, kita telah sama-sama belajar tentang Dikotomi Kendali, sebagai pembendaharaan hal-hal yang berada di dalam kendali dan di luar kendali.
Sebagai kelanjutannya, Filosofi Teras juga membawa saya untuk mengenal Amor Fati. Sebuah konsep yang dipublikasikan oleh Friedrich Nietzsche, seorang filsuf asal Jerman.
Ditinjau dari asal kata, Amor Fati terdiri dari dua suku kata. Amor dalam bahasa latin berarti cinta. Sedangkan Fati, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Fate, berarti takdir.
Dengan demikian, Amor Fati dapat diartikan sebagai cinta takdir alias mencintai takdir.
Hakikat cinta dan mencintai
Duh... mencintai orang aja sering bermasalah, apalagi mencintai takdir!
Mencintai memang kerap menjadi perkara yang rumit.
Karena mencintai berarti menerima segala kekurangan dan kelebihan si objek yang dicinta (lebih sering manusia), baik itu bau keteknya, kebiasaan ngupilnya, cantik atau gantengnya, baik hatinya, pokoknya segala-galanya deh!
Namun sebagaimana yang kita saksikan dan rasakan, untuk sampai ke tahap "nerimo" rasanya cukup sulit.
Kamu bisa bilang: aku cinta kok sama dia. Tapi masih misuh-misuh ketika chat-mu lama dibalasnya atau inginmu tidak dikabulkannya (padahal dia sudah memberitahumu alasannya).
Baca juga: Mengenal Dikotomi Kendali, Alasan Mengapa Kamu Harus "Legowo" Terhadap Beberapa Hal
Sebagai makhluk yang penuh perhitungan, kita memang lebih mudah menerima kelebihan seseorang (kegantengannya, perhatiannya, traktirannya, dan seterusnya...), namun sulit sekali untuk beradaptasi dengan satu kekurangan.
Untungnya masing-masing dari kita memiliki seorang ibu. Yang hakikat mencintainya sepanjang jalan: tak terputus, tak terhingga, tak mengharap balasan.
Lalu, bagaimana cara mencintai takdir?
"Formula untuk keagungan manusia adalah amor fati, yaitu tidak ingin apa pun menjadi berbeda." -Friedrich Nietzsche
Mencintai takdir menurut Nietzsche sesederhana mencintai apa yang ada, tidak ingin apa pun menjadi berbeda.
Jika harus terciprat lumpur hari ini, maka Nietzsche akan mensyukurinya. Karena ia yakin, cipratan lumpur adalah bagian dari takdir, sebuah siklus alam yang telah terjadi selama ribuan tahun.
Tapi masa sih kita harus mensyukuri keadaan baju kita yang bermotif baru karena lumpur?
Kata orang, cinta itu butuh proses.
Kita nggak bisa ujug-ujug suka sama seseorang, apalagi mencintainya dengan sepenuh hati. Ada kebiasaan jahilnya yang kita adaptasi. Ada suara ngorok dan bau keteknya yang harus kita biasakan.
Begitu juga dengan Amor Fati. Sebelum mencintai takdir, kita harus belajar bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa kendalikan dengan dikotomi kendali.
Dengan demikian kita akan tahu bahwa perilaku orang lain (termasuk yang telah membawa cipratan lumpur) tidak bisa kita kendalikan. Apa yang telah terjadi juga tidak bisa diulang kembali. Fakta bahwa bajumu kini telah terkena lumpur pun tidak terbantahkan.
Jadi, syukurilah, atau paling tidak terimalah kenyataan bahwa baju kesukaanmu terkena lumpur. Toh, bukankah apa-apa yang kita miliki hari ini adalah pinjaman?
Beruntung ini hanya baju, yang masih diproduksi setiap tahun dengan model terbaru. Bagaimana jika yang diminta kembali adalah jabatan, kekayaan, atau anggota keluarga? Akankah kamu tetap misuh-misuh juga?
Cintailah takdir si lumpur karena kamu sudah belajar tentang melepaskan sesuatu yang berharga. Pelajaran yang mungkin nggak akan kamu dapatkan tanpa proses kerusakan atau kehilangan.
Dibanding misuh-misuh, lebih baik fokus untuk mencari pelajaran yang tersembunyi. Bukankah di balik suatu perisitwa, memang selalu ada hikmahnya?
Mengutip pepatah Yakult: cintai takdirmu, berhenti misuh-misuh setiap hari.
--
Tutut Setyorinie
25 Juli 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI