Pada tahun 2019, upaya pelemahan ini akhirnya mendapat titik terang setelah Presiden Jokowi mengesahkan revisi atas Undang-Undang KPK terdahulu, UU Nomor 30 tahun 2002.
Dilansir dari Kompas, setidaknya ada 26 poin hasil revisi UU yang berpotensi melemahkan KPK.
Beberapa di antaranya adalah pemangkasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas yang kuasanya lebih tinggi dari pimpinan, pelemahan independensi, dan alih status pegawai KPK menjadi ASN yang berujung pada pemecatan 51 pegawai.
Film ini mengumpulkan kesaksian dari 16 orang pegawai yang gugur dalam TWK.
Mereka adalah Novel Baswedan (Penyidik), Herbert Nababan (penyidik), Budi (Penyidik), Rizka Anungnata (Penyidik), Yudi Purnomo (Penyidik), Andre Nainggolan (Penyidik), Hasan (Penyidik), Harun Al Rasyid (Penyelidik), Rieswin Rachwell (Penyelidik), Ita (Tata) Khoiriyah (Humas), Tri Artining Putri (Puput) (Humas), Benny (Jejaring Masyarakat), Sujarnako (Koko) (Jaringan Kerjasama), Nova (Jaringan Kerjasama), Farid (Pengaduan Masyarakat), dan Rasamala Aritonang (Biro Hukum).
Pertanyaan Sarat Isu SARA dan Ranah Pribadi
Pertanyaan tentang "apakah punya pacar?", "berapa kali pacaran?" dan "kalau pacaran ngapain aja?" yang diterima Tata, pegawai bagian Humas, membuka scene ini dengan menarik.
Bagaimana bisa hubungan dengan pacar menjadi lingkup dalam wawasan kebangsaan? Maksud terselubung apa yang berusaha disembunyikan si penanya? Saya menggeleng tak paham.
Setelahnya, pertanyaan tentang "Apakah orang Jepang itu kejam?" yang diterima Novel Baswedan, menjadi 'lelucon' lain yang menggelitik pikiran saya tentang korelasi antara pendapat atas ras atau suku tertentu terhadap kinerja seseorang.