"Seratus!"
Gadis berambut pirang itu, Kirana, mengangkat tinggi-tinggi hasil ujiannya. Ia baru saja menjalani ujian matematika dalam persiapan ujian nasional Sekolah Dasar. Esok, ulang tahunnya yang ke dua belas. Ia telah membuat satu permohonan yang hanya dapat dikabulkan jika salah satu ujiannya mendapat nilai seratus.
"Ujian matematikaku seratus, bu."
Namun saat itu rumah tengah sepi. Kirana yang terlalu asik mencermati kertas ujiannya bahkan tak menyadari bahwa dua kali sahutannya tidak terbalas apa-apa.
"Bu?"
Lima detik berikutnya ia tersadar. Ibu, ayah dan kakak sulungnya seharusnya berada di sini, di kursi melingkar ini. Mereka biasa menunggu dirinya pulang, lantas menciumi kepalanya satu-satu. Bersyukur bahwa tidak ada yang coba melukainya hari ini.
Namun kursi melingkar itu sekarang kosong. Ruangan itu kosong. Bahkan Kirana bisa merasakan bahwa rumah ini juga kosong.
"Mas Lintang?"
Kakaknya tidak berkuliah hari ini. Tapi saat ia menghampiri kamarnya, lelaki itu tidak berada di sana. Kirana menatap sekitar sebelum menyibak tirai jendela yang menyembunyikan wajah kota tempat tinggalnya.
Selama hampir dua belas tahun hidup, Kirana hanya mengenali satu jalan dalam kota ini: jalan menuju sekolah. Ibunya selalu berkata untuk tidak pernah kemana-mana, kota ini mempunyai sihir yang akan menyebabkan orang tersesat.
Selama hampir dua belas tahun hidup juga tidak lebih dari sepuluh orang yang mengenalnya. Hitungan itu sudah termasuk ayah, ibu, serta kakaknya. Sisanya ada guru-guru, teman sebangkunya, dan satpam sekolah. Kirana selalu takut berinteraksi dengan orang-orang. Ibunya selalu berkata bahwa dalam diri setiap orang mengandung sihir. Terutama mereka yang berambut hitam.
"Ayah?"
Sekarang Kirana berlari ke kamar ayahnya. Tidak juga ditemukan sosok ayahnya yang biasa merakit sesuatu di atas meja bundarnya. Ayahnya seorang penemu. Lima tahun lalu, ia berhasil menemukan warna baru dalam dunia: samar. Itulah warna cat rumah mereka, baju-baju mereka, tas sekolah , sepatu dan semua peralatan di dalamnya.
Itu juga yang membuat kehadirannya begitu samar di hadapan orang-orang. Kirana meyakini itu sebagai bentuk perlindungan diri. Orang-orang dan kotanya menyimpan sihir. Ia hanya tidak ingin terjerat di dalamnya.
Kirana mendekati meja bundar itu. Tampak ayahnya baru saja menyelesaikan satu penemuan baru. Oh ia ingat, ayahnya selalu menyebut-nyebut pesawat luar angkasa. Keluarganya mempunyai gedung bawah tanah yang menyimpan sebuah pesawat tua. Ayahnya yakin suatu saat pesawat itu bisa diterbangkan, bukan hanya mengelilingi bumi namun juga mengelilingi angkasa.
Bumi tidak lagi aman untuk kita, Kirana. Kita harus kembali suatu saat. Itu yang selalu diucap ayahnya ketika ia menatap lekat-lekat pesawat yang mempunyai bentuk melingkar. Kirana tak pernah bertanya apa maksud dari kembali. Ia terlalu gembira dengan kata-kata mengelilingi angkasa.
"Bu?"
Ia lalu berlari ke kamar sang ibu. Ibunya adalah wanita tercantik yang pernah Kirana lihat. Matanya hijau, dan rambut pirangnya akan bersinar ketika ia bernyanyi. Kirana sendiri mempunyai mata coklat. Ibunya berkata, matanya akan menjadi hijau ketika ia beranjak dewasa.
Ibunya adalah kunci jawaban terandal yang ia punya. Hanya saja ia tak pernah bisa menjawab satu pertanyaan dalam hidupnya. Pertanyaan itulah hadiah yang ia minta saat umurnya menginjak dua belas.
Kirana menatap sekitar sebelum sadar lantai rumahnya bergerak-gerak. Keributan mendadak terjadi selama sepersekian menit: suara ketukan, ledakan, dan gerungan mesin. Kirana berlari ke bawah dan mengintip di balik jendela. Orang-orang berambut hitam tengah mengetuk pintunya. Namun cat rumahnya samar. Mereka seharusnya tidak pernah tahu dimana letak rumahnya atau bahkan letak pintunya.
Kakaknya, Lintang, entah dari mana menyeretnya menuju ruang bawah tanah. Di sana, ayah dan ibunya tengah menunggu dalam pesawat bundar. Kirana menatap mereka bingung. Namun ia tak sempat berpikir atau bertanya.
Gerung mesin pesawat terdengar lebih keras. "Pegangan, kita akan melesat, Kirana." Kakaknya mengingatkan.
Ia memegang apa saja yang ada di sekitar. Mereka melesat meninggalkan rumahnya yang di cat samar, taman bermainnya yang bewarna samar, orang-orang berambut hitam serta kotanya.
"Selamat ulang tahun, Kirana. Ini hadiah ulang tahunmu." Ibunya datang, mengecup kepalanya dan memeluknya lama.
Kirana tak balas memeluk. Ia hanya menatap ibunya lama. Hadiah ulang tahun? Satu-satunya hadiah yang ia inginkan adalah jawaban pertanyaan mengapa keluarganya berbeda, mengapa mereka memiliki kulit hijau sedangkan orang-orang kota berkulit coklat.
Namun ketika matanya bergerak ke arah jendela, seketika ia sadar ibunya mungkin telah menjawab semuanya. Ia berada di dunia yang berbeda. Ratusan pesawat bundar memakirkan diri di sana. Begitu juga dengan orang-orang berkulit, berambut, dan bermata hijau.
Mata Kirana sekarang juga bewarna hijau. Rambutnya hijau. Kukunya hijau.
"Kita tidak berbeda, Kirana. Hanya tersesat di lingkungan yang salah. Lagipula menjadi berbeda menyenangkan, bukan?" Kakaknya mengatakan.
"Selamat datang di rumah, Kirana."
Di kota ini, sepanjang Kirana memandang, tidak ada orang-orang berambut hitam.
--
Tempat di mana tidak ada pesawat bundar. 16 Desember 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H