"Ayah?"
Sekarang Kirana berlari ke kamar ayahnya. Tidak juga ditemukan sosok ayahnya yang biasa merakit sesuatu di atas meja bundarnya. Ayahnya seorang penemu. Lima tahun lalu, ia berhasil menemukan warna baru dalam dunia: samar. Itulah warna cat rumah mereka, baju-baju mereka, tas sekolah , sepatu dan semua peralatan di dalamnya.
Itu juga yang membuat kehadirannya begitu samar di hadapan orang-orang. Kirana meyakini itu sebagai bentuk perlindungan diri. Orang-orang dan kotanya menyimpan sihir. Ia hanya tidak ingin terjerat di dalamnya.
Kirana mendekati meja bundar itu. Tampak ayahnya baru saja menyelesaikan satu penemuan baru. Oh ia ingat, ayahnya selalu menyebut-nyebut pesawat luar angkasa. Keluarganya mempunyai gedung bawah tanah yang menyimpan sebuah pesawat tua. Ayahnya yakin suatu saat pesawat itu bisa diterbangkan, bukan hanya mengelilingi bumi namun juga mengelilingi angkasa.
Bumi tidak lagi aman untuk kita, Kirana. Kita harus kembali suatu saat. Itu yang selalu diucap ayahnya ketika ia menatap lekat-lekat pesawat yang mempunyai bentuk melingkar. Kirana tak pernah bertanya apa maksud dari kembali. Ia terlalu gembira dengan kata-kata mengelilingi angkasa.
"Bu?"
Ia lalu berlari ke kamar sang ibu. Ibunya adalah wanita tercantik yang pernah Kirana lihat. Matanya hijau, dan rambut pirangnya akan bersinar ketika ia bernyanyi. Kirana sendiri mempunyai mata coklat. Ibunya berkata, matanya akan menjadi hijau ketika ia beranjak dewasa.
Ibunya adalah kunci jawaban terandal yang ia punya. Hanya saja ia tak pernah bisa menjawab satu pertanyaan dalam hidupnya. Pertanyaan itulah hadiah yang ia minta saat umurnya menginjak dua belas.
Kirana menatap sekitar sebelum sadar lantai rumahnya bergerak-gerak. Keributan mendadak terjadi selama sepersekian menit: suara ketukan, ledakan, dan gerungan mesin. Kirana berlari ke bawah dan mengintip di balik jendela. Orang-orang berambut hitam tengah mengetuk pintunya. Namun cat rumahnya samar. Mereka seharusnya tidak pernah tahu dimana letak rumahnya atau bahkan letak pintunya.
Kakaknya, Lintang, entah dari mana menyeretnya menuju ruang bawah tanah. Di sana, ayah dan ibunya tengah menunggu dalam pesawat bundar. Kirana menatap mereka bingung. Namun ia tak sempat berpikir atau bertanya.
Gerung mesin pesawat terdengar lebih keras. Â "Pegangan, kita akan melesat, Kirana." Kakaknya mengingatkan.