Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bunga Musim Dingin

8 Maret 2017   15:56 Diperbarui: 24 Maret 2017   22:00 1611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mata seorang lelaki berkemeja biru sedari tadi terpancang lurus pada butiran salju yang melayang-melayang sebelum menghempas tanah. Hari ini, tepat dua puluh empat jam sebelum tahun baru. Esok, rasanya mustahil orang-orang akan menyambut salju sedingin dan seasing ini.

“Fleur…”

Gadis yang sedari tadi sibuk mengaduk Machiattonya hingga dingin mengerang kecil, “Kau tahu, ibuku lebih suka memanggilku bunga. Dan aku juga.”

Lelaki itu kembali terkekeh. “Hanya karena nama itu terlalu prancis?”

Sang gadis mengangguk. “Alasan pertama.”

“Dan kedua?”

Ia mulai menyeruput kopi yang sudah kehilangan aroma. “Tidak ada bunga yang lahir dan menyukai musim dingin.”

“Oh ya?” Pandangan lelaki itu menyipit dan tangannya membuat gerakan seperti menangkap butiran salju yang hendak terhempas jatuh. “Kalau begitu kau belum mendengar dongeng tentang bunga musim dingin.” Lelaki itu memasang wajah bak pendongeng majenun. Sang gadis tersenyum. Rambutnya berkibar-kibar dan lututnya disilangkan. Senyum penuh imajinya menyatakan bahwa ia siap duduk manis untuk mendengarkan dongeng dari si pengarang.

“Tak banyak orang yang menyukai musim dingin, apa lagi menantikan kedatangannya. Alkisah pada suatu masa, takdir berselisih paham dengan alam. Takdir dengan kekuasaannya menggariskan bahwa tak ada satupun bunga yang berhasil bertahan dalam terpaan salju. Namun alam tak setuju.” Lelaki itu berhenti sejenak saat gadis di hadapannya mengangkat tangan untuk menyelanya.

“Terlalu klasik,” sanggah sang gadis. “Kau tak bisa menyanggah takdir. Kukira dia bukan orang atau semacamnya bukan? Dia lebih kepada pemilik kehidupan.”

Lelaki itu merenggut. “Kukira kau sudah mendengarkanku dari awal, Fleur. Ini hanyalah dongeng.”

Gadis itu mengangguk dan membuat gerakan seperti silakan lanjutkan dalam diam.

“Alam berpendapat bahwa hanya dia yang berhak menentukan siapa saja yang dapat bertahan dan yang tidak. Votingpun dimulai. Seisi alam semesta diminta memihak ke salah satunya, garis si takdir atau hukum sang alam.”

“Singkat kata, takdir akhirnya menang. Bisa dikatakan ia menang telak dari alam. 99,80% suara memihak padanya. Alam tak pernah tahu, bahwa takdir telah mengatur segalanya supaya terjadi persis dengan apa yang ia harapkan. Dan takdir juga tak pernah tahu, bahwa alam telah memberikan sihirnya kepada satu bunga yang lahir di musim dingin dan bertahan di antara gempuran salju dan badai.”

Gadis itu menggerakan tangan; berhenti; menyela lagi. “Jangan bilang padaku bahwa nama bunga itu adalah Fleur Lemerence, karena itu benar-benar ending yang klasik.”

“Bukan.” Lelaki itu giliran tersenyum. “Bunga itu akhirnya ditemukan oleh sang takdir dan dibinasakan.”

“APAAA?” Dua cangkir machiatto yang tergeletak di meja bertumpahan ke segala arah. Lirikan kejam dan sinis mendadak menghujam penghuni meja nomor dua belas. “Kau mengubah endingnya,” simpul gadis itu dengan suara yang diperkecil.

“Tidak.”

“Ya, kau mengubahnya. Tak ada cerita dongeng yang berakhir tragis seperti itu.” Gadis berambut pirang itu kembali terhenyak duduk di kursinya. Kopi yang bertumpahan itu telah diabaikan. Kini mata hitamnya ikut menembus kapas putih yang belum juga selesai turun. “Happily ever after, bukankah mereka selalu begitu?”

Lelaki itu menggelengkan kepala. “Kalau begitu kau belum pernah mendengar bahwa mata ibu tiri Cinderella dipatuk burung elang hingga buta, atau si sleeping beauty yang dihamili pangeran dan melahirkan saat tertidur lalu bayinya yang lapar menghisap jari ibunya hingga jarum itu terlepas dan ia terbangun?” Ia tersenyum puas. “Bahkan dongeng yang happily ever after pun mempunyai kisah tragis sebelumnya.”

Gadis itu tampak tercengang, matanya yang sedari tadi terpaku pada butir-butir salju mendadak terhempas ke tanah. “Lantas apa kau mau memberitahuku siapa bunga musim dingin itu?”

“Ia ditemukan sang takdir dan dibinasakan.” Lelaki itu menyeruput kopinya dalam sekali napas. “Namun sebelum itu, ia memohon pada sang alam untuk menumbuhkan seribu bunga di musim dingin setelah kematiannya.”

Gadis itu tampak ingin menyela lagi, namun mendadak mengurungkan niat ketika lelaki itu juga mengangkat tangannya untuk menyelanya juga.

“Alam mempunyai sihir. Yang kutahu, seribu bunga itu melahirkan sejuta bunga dan semilyar bunga lagi. Dan bunga-bunga yang ada sejatinya tak pernah mati ketika musim dingin. Ia hanya menyembunyikan wujudnya dari sang takdir. Lalu bereinkanarsi ketika musim semi.”

“Dan jangan paksa aku untuk menceritakan bagaimana kisah semilyar bunga itu, karena hingga salju turun di tahun berikutnya pun cerita ini tak akan usai.” Lelaki itu terkekeh pelan.

“Namun jika kau memaksa, kau akan mendengar sebuah kisah tentang satu bunga yang mengutuki kelahiran dan juga namanya.” Lelaki itu tersenyum dan sang gadis tampak merenggut.

“Mempunyai darah prancis, tetapi tak mau mengakuinya. Mempunyai darah Indonesia, tetapi tak mewarisi kesantunannya. Kupikir bunga ini dilahirkan di pinggiran antartika dan dibesarkan di kawasan Afrika. Wataknya dingin, namun tawanya hangat. Aku tak mengerti mengapa selalu memerhatikannya akhir-akhir ini. Namun kurasa, ia tak sadar dan tak peduli. Karena itulah sifat Fleur Lemerence.” Lelaki itu berhenti tepat saat mata gadis di hadapannya mengkilat berbahaya.

“Maksudmu?”

“Skeptis, suka menyela, sulit tuk percaya.”

“Aku tidak…”

“Dingin, kaku, terlalu khawatir.”

“Aku tidak begitu..”

“Cerewet, cemberut, ceroboh.”

“Kau…”

“Tetapi entah mengapa aku mencintainya.”

Lalu mereka berdua pun terdiam. Hujan salju mulai lagi. Dan udara dingin mulai menusuk-nusuk kulit yang tak terbungkus sehelai kain.

“Mencintai semua sifatnya dan juga namanya. Mencintai semua yang ada dirinya walau ia sendiri membencinya. Kuharap ia tahu dan tidak bertindak tidak peduli kali ini, karena ini akan menjadi dongeng yang skeptis dan unhappily ever after.”

Lelaki itu tersenyum samar pada awan kelabu di luar sana. “Namun aku bahkan bukan penulis ataupun penyair majenun. Aku tak bisa membuat ending yang indah, apalagi disukai banyak orang. Semua ini hanya tergantung padamu, bunga musim dingin.”

“Aku…” Fleur Lemerence terhenyak, tampak tak percaya, namun kemudian tersenyum. “Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku lebih menyukai bunga musim dingin dibanding Fleur Lemerence.”

Lelaki itu pada akhirnya ikut tersenyum. Satu kisah lain yang akhirnya dapat ia ceritakan di kelas mendongengnya minggu depan; kisah seorang pangeran antah berantah yang berhasil menyatakan cinta kepada bunga musim dingin, setelah ribuan kali merencanakan.

Bukan di musim dingin, 8 Maret 2017

NB:

Fleur—nama perancis yang berarti bunga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun