Gadis itu tampak ingin menyela lagi, namun mendadak mengurungkan niat ketika lelaki itu juga mengangkat tangannya untuk menyelanya juga.
“Alam mempunyai sihir. Yang kutahu, seribu bunga itu melahirkan sejuta bunga dan semilyar bunga lagi. Dan bunga-bunga yang ada sejatinya tak pernah mati ketika musim dingin. Ia hanya menyembunyikan wujudnya dari sang takdir. Lalu bereinkanarsi ketika musim semi.”
“Dan jangan paksa aku untuk menceritakan bagaimana kisah semilyar bunga itu, karena hingga salju turun di tahun berikutnya pun cerita ini tak akan usai.” Lelaki itu terkekeh pelan.
“Namun jika kau memaksa, kau akan mendengar sebuah kisah tentang satu bunga yang mengutuki kelahiran dan juga namanya.” Lelaki itu tersenyum dan sang gadis tampak merenggut.
“Mempunyai darah prancis, tetapi tak mau mengakuinya. Mempunyai darah Indonesia, tetapi tak mewarisi kesantunannya. Kupikir bunga ini dilahirkan di pinggiran antartika dan dibesarkan di kawasan Afrika. Wataknya dingin, namun tawanya hangat. Aku tak mengerti mengapa selalu memerhatikannya akhir-akhir ini. Namun kurasa, ia tak sadar dan tak peduli. Karena itulah sifat Fleur Lemerence.” Lelaki itu berhenti tepat saat mata gadis di hadapannya mengkilat berbahaya.
“Maksudmu?”
“Skeptis, suka menyela, sulit tuk percaya.”
“Aku tidak…”
“Dingin, kaku, terlalu khawatir.”
“Aku tidak begitu..”
“Cerewet, cemberut, ceroboh.”