Namun pada hari keempat Podan terkaget. Ketika terbangun, ia tak lagi menemukan Rahayu di sisinya. Podan bergegas memeriksa seisi rumah sambil memangil-manggil Rahayu. Tapi usahanya sia-sia, Rahayu tak juga tampak di pelupuk mata.
“Mas Podan…”
Podan terkesiap. Ia linglung mencari-cari sumber suara. “Rahayu?”
Suara itu lalu hilang. Lima menit berlalu dalam hening fajar. Podan terduduk lagi dalam diam.
“Dulu, aku wanita buruk rupa, mas.”
Podan kembali terbangun, “yu…”
“Dulu aku tak memiliki teman. Karena mereka tak tahan ketika melihat wajahku yang begitu buruk.”
Podan kali ini pasrah—tak mencari.
“Aku frustasi. Aku hampir bunuh diri.”
“Namun malam itu Tuhan mempertemukanku dengan Nyi Dasimah yang begitu cantik luar biasa. Nyi Dasimah sangat kesepian. Ia tak memiliki teman—sama sepertiku. Setelah kami bercerita, ia akhirnya mengaku, bahwa ia tak memiliki teman karena suaranya begitu buruk dan tak enak didengar. Dan aku yang begitu prihatin, akhirnya memberikan pita suaraku untuknya. Dan sebagai hadiah, ia memberikan kecantikannya yang luar biasa untukku.”
Podan masih mendengarkan.