Podan—si lelaki yang kemana-mana selalu memakai kaus oblong butut—kini didandani dengan jas hitam mengkilap dan pantofel berhak. Rambutnya klimis, kumis tipisnya habis. Dan kegiatannya selama dua jam terakhir adalah mengecek apakah cincin kawinnya masih aman di saku kirinya atau tidak.
Podan melangkah gagah sepanjang jalan. Ia sangat menikmati ketika berpuluh pasang mata menatapnya penuh iri. Ia juga masih menikmati ketika seseorang anak kecil dengan sengaja menciprati jas hitamnya dengan lumpur basah. Ia sangat bahagia. Dan tak ada satupun yang dapat merusak kebahagiannya saat ini.
Rahayu muncul di balik pintu. Gaun putihnya menjuntai sampai ke bawah. Rambut panjangnya di gelung ketat, berhias bunga-bunga. Langkahnya bisa membuat siapapun yang menatapnya ternganga. Rahayu memang sangat istimewa.
“Saya nikahkan Sri Rahayu bin Salman dengan Podan bin Boris dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai….”
Setelah mengulang janji suci perkawinan itu, Podan akhirnya bisa dengan bebas mencium kening Rahayu. Keningnya juga ternyata selembut debu. Podan tak menyangka.
“Yu, kita kan sudah resmi menjadi suami istri. Bolehlah abang mendengar suaramu. Abang yakin suaramu lebih merdu dari diva Indonesia.”
Rahayu tersenyum malu.
“Abang ingin mendengar kau memanggil abang yu. Sekali saja.”
Rahayu masih diam.
Dan permintaan Podan malam itu tak terpenuhi. Tapi ia tak marah. Lelaki itu yakin, suatu hari, entah kapan, Rahayu akan memanggilnya dengan sayang. Tanpa perlu diminta.
Hari pertama, Rahayu melayani Podan dengan mesra. Membuatkan kopi, sarapan pagi, hingga layanan malam yang extra apik. Hari kedua, Podan mengajak Rahayu mengelilingi desa. Mereka berkeliling bersama memakai sepeda butut pemberian kakek buyut Podan di Medan. Hari ketiga, mereka makan malam romantis di anjungan berlatar sunset yang berdegradasi orange.