Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Horror dan Misteri] Itu Aku

26 September 2016   19:17 Diperbarui: 28 September 2016   06:26 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurutmu, bagian apa yang paling kau sukai dari tubuhmu? Kalau aku, mata. Mata, bagiku, lebih dari sekedar jendela yang berfungsi memantulkan bayangan benda. Mata, bagiku, adalah bukti. Bukti bahwa kau masih bernapas di dunia ini.

Aku dilahirkan dengan bakat yang istimewa. Yaitu bisa melihat seberapa lama lagi seseorang akan hidup di dunia. Ya, aku bisa melihatnya dengan binar matanya. Seseorang yang masih lama hidupnya, matanya akan berbinar cerah. Lain halnya dengan seseorang yang akan mendekati ajal, binar matanya semakin lama akan semakin redup. Hingga akhirnya hilang, dan hanya meninggalkan selongsong bola putih yang dingin dan mematikan.

Tapi belakangan aku tidak lagi menyebut ini sebagai bakat istimewa. Aku lebih suka menyebutnya sebagai malapetaka. Ya, bagaimana tidak? Setiap hari kau akan bertemu orang-orang yang tak lama lagi akan dijemput ajal. Butuh berapa lama, sampai kau melihat orang terdekatmupun demikian? Bagiku itu tak butuh waktu lama.

Aku melihat sendiri bagaimana binar mata ibuku semakin hari semakin meredup dan akhirnya hilang. Dan dua minggu lalu, aku melihat binar mata ayahku juga mulai meredup. Aku sangat takut kehilangannya. Tapi aku tahu, penglihatanku tak mungkin salah. Dan benar saja, kemarin malam, ayahkupun ikut menyusul ibu. Meninggalkan selongsong bola mata yang tak lagi berpendar hangat ketika kutatap.

Cukup. Aku sudah muak. Aku tak mau lagi menatap kematian seseorang.

Brukk. Aku menabrak seseorang.

“Maaf, tak sengaja,” ucapku sambil membantu merapikan buku orang itu yang jatuh berserakan.

Dari puncak kepalanya, aku tahu dia adalah gadis kecil. Mungkin umurnya baru menginjak tujuh atau delapan. Dia menunduk—sibuk merapikan bukunya.

“Ini,” kataku sambil menyerahkan.

Dia tidak menjawab. Tidak pula menatap. Ia hanya mengambil buku di tanganku, lalu berlalu. Sempat kutatap sejenak binar matanya. Aneh. Mata itu sudah kehilangan cahaya. Mata itu terlalu dingin untuk dimiliki orang yang masih hidup. Mata itu sudah mati.

Aku penasaran. Kuikuti langkah si gadis kecil tadi ke seberang jalan. Ia terus melangkah hingga kupikir ia membawaku hampir ke perbatasan kota.

Dan gadis kecil itu akhirnya berhenti. Ia menoleh ke belakang dan menemukanku yang membututinya diam-diam. Namun ia tak terkejut. Reaksinya seperti ia hanya melihat sebuah bayangan yang berkelebat. Mungkinkah aku ini kasat mata?

Gadis kecil itu lalu meneruskan langkahnya. Ia membawa setumpuk bukunya dengan agak kesusahan sehingga berjalan timpang. Ia lalu berpapasan dengan seseorang, dan berhenti sejenak. Aku ikut mengamati.

Seorang kakek renta yang tulus, memberinya jalan. Kutatap mata kakek renta itu. Astaga sudah sangat redup. Mungkin tinggal menghitung hari ketika ajal membawanya pergi. Dan gadis kecil itu juga bereaksi sama denganku. Ia terlihat pilu dan dengan segera menjatuhkan semua bukunya dan memeluk kakek itu. Apa ia juga bisa melihat? Apa ia juga mempunyai bakat? Tiba-tiba hatiku dipenuhi harap.

***

Rasanya seperti menemukan solusi dari sebuah masalah, aku begitu gembira menemukannya. Ya, si gadis kecil itu.

Karena tadi hari sudah agak malam, aku lalu beranjak pulang. Besok, aku berjanji akan mencarinya lagi dan mengajak berkenalan bila mungkin. Kupikir kita bisa berbagi beban. Kupikir kita akan saling menenangkan. Kupikir kita akan menjadi teman.

Tapi setelah berkeliling di tempat yang sama, aku tak menemukannya. Kemana ia?

Aku kembali mencarinya. Dari tempat awal bertemu hingga ke tempat berpisah. Sampai tak sadar bahwa senja telah tenggelam oleh malam. Aku menyerah.

Aku pulang. Tapi tidak ke rumah. Aku ingin mengunjungi ibu dan ayahku. Bukankah rumah adalah tempat dimana ibu dan ayahmu berada? Hanya mereka yang mau kubagi beban. Hanya mereka seorang teman.

Pemakaman itu masih sama seperti yang terakhir kali kuingat. Kamboja menyeruak di tengah-tengahnya.

Kupandangi makam ibu dan ayah yang bersebelahan. Baru kusadari bahwa mereka sangat kurindukan. Aku terjatuh. Menangis dalam diam. Menunggu kematian datang dan mengantarku kembali kepada peluk hangat mereka.

Tapi mataku tergelitik pada sebuah makam yang terletak di samping makam ibuku. Kurasa makam itu sudah tua. Nisannya tertutup debu tebal sehingga namanya sulit dibaca.

Aku tak tahu mengapa tanganku bergerak menghapus debu di atasnya. Sehingga terbaca sebuah nama.

Lessia Bin Fatar.

Kubaca sekali lagi.

Lessia Bin Fatar.

Mengapa ada yang menulis namaku di sana? Aku tidak mati. Aku belum mati. Aku belum melihat cahaya mataku meredup.

Aku berlari pulang ke rumah. Kucari cermin kecil yang biasa kupakai untuk bersolek. Dan itu dia. Mataku menatap dari kaca. Ia tak lebih dari selongsong bola putih yang dingin dan mematikan.

Kapan sebenarnya aku mati? Mengapa aku tak menyadari? Mengapa makam itu seperti tua sekali?

Aku kembali mematutkan wajah di depan kaca. Mataku mengedip ramah. Kulihat cermin itu tak lagi memantulkan bayangan wajahku, ia sekarang menampilkan seorang gadis kecil yang kulihat kemarin di jalan. Ia ternyata sama sepertiku. Mempunyai bakat melihat berapa lama lagi seseorang akan bertahan hidup. Sepetinya ia juga mengutuki. Karena ia selalu berjengit setiap kali bertemu orang yang ia pikir akan mati.

Dan gadis kecil itu tumbuh. Ia sekarang cantik dengan rambut panjangnya. Tapi kegundahannya masih sama. Ia merutuki diri kala yang dilihat adalah ibunya sendiri yang tengah kehilangan binar cahaya. Ia ingin mengubah segalanya. Tapi ia tidak bisa.

Gadis itu sekarang telah dewasa. Kulihat wajahku memantul di sana. Aku, masih dengan kegundahan yang sama. Menangis di depan makam ibu dan ayahku dan berjengit sendiri ketika melihat namanya di sebuah nisan.

Itu semua aku. Gadis kecil yang kemarin kulihat itu aku. Gadis yang telah mati itu aku. Lantas siapa aku? Sebuah pemahaman tiba-tiba berkelebat di pikiranku.

Kurasa itu aku. Makhluk yang sering dibicarakan orang-orang.

Itu aku. Si ajal yang kejam, bengis, dan mengerikan. Itu mengapa aku bisa melihat kapan jiwa seseorang akan kurenggut lepas.

Itu aku. Aku mengerti kenapa aku bisa menjadi siapa saja. Aku mengerti ketika aku bisa berada di mana saja.

Itu aku. Izinkan aku menatap matamu. Supaya kutahu kapan jiwamu bisa kurenggut.

***

24September2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun