Tapi mataku tergelitik pada sebuah makam yang terletak di samping makam ibuku. Kurasa makam itu sudah tua. Nisannya tertutup debu tebal sehingga namanya sulit dibaca.
Aku tak tahu mengapa tanganku bergerak menghapus debu di atasnya. Sehingga terbaca sebuah nama.
Lessia Bin Fatar.
Kubaca sekali lagi.
Lessia Bin Fatar.
Mengapa ada yang menulis namaku di sana? Aku tidak mati. Aku belum mati. Aku belum melihat cahaya mataku meredup.
Aku berlari pulang ke rumah. Kucari cermin kecil yang biasa kupakai untuk bersolek. Dan itu dia. Mataku menatap dari kaca. Ia tak lebih dari selongsong bola putih yang dingin dan mematikan.
Kapan sebenarnya aku mati? Mengapa aku tak menyadari? Mengapa makam itu seperti tua sekali?
Aku kembali mematutkan wajah di depan kaca. Mataku mengedip ramah. Kulihat cermin itu tak lagi memantulkan bayangan wajahku, ia sekarang menampilkan seorang gadis kecil yang kulihat kemarin di jalan. Ia ternyata sama sepertiku. Mempunyai bakat melihat berapa lama lagi seseorang akan bertahan hidup. Sepetinya ia juga mengutuki. Karena ia selalu berjengit setiap kali bertemu orang yang ia pikir akan mati.
Dan gadis kecil itu tumbuh. Ia sekarang cantik dengan rambut panjangnya. Tapi kegundahannya masih sama. Ia merutuki diri kala yang dilihat adalah ibunya sendiri yang tengah kehilangan binar cahaya. Ia ingin mengubah segalanya. Tapi ia tidak bisa.
Gadis itu sekarang telah dewasa. Kulihat wajahku memantul di sana. Aku, masih dengan kegundahan yang sama. Menangis di depan makam ibu dan ayahku dan berjengit sendiri ketika melihat namanya di sebuah nisan.