Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Warga Bekasi. Bermukim dekat TPST Bantar Gebang. Sedang belajar mengurangi sampah dengan 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒐𝒎𝒑𝒐𝒔 dan 𝒅𝒊𝒆𝒕 𝒑𝒍𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌. Yuk, jadi Game Changer untuk lingkunganmu!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[RoseRTC] Abadi Dalam September

17 September 2016   13:02 Diperbarui: 17 September 2016   18:46 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

5 September 2010

Kau duduk di bangku taman. Tanganmu tampak menggenggam sebuah novel roman. Tapi matamu tak terfokus pada bacaan. Kurasa kau sedang memandang flamboyant yang sedang bermekaran. Pikiranmu jelas sekali sedang berkeliaran. Tapi engkau tetaplah cantik ketika dipandang.

Aku melangkah ragu. Kugigit bibirku untuk menutupi jantungku yang semakin cepat berpacu. Tapi semakin kututupi, degup jantungku semakin jelas terjadi.

Kau tiba-tiba berdiri. Hendak pergi. Aku tak mau kehilanganmu lagi.

“Luana…”

Kau menoleh. Mencari-cari sang empunya sumber suara.

***

24 September 2011

“Hari ini kita makan di mana, Na?” tanyaku sambil menggendong tas kuliah.

Luana balas menatapku dengan senyuman. “Soto mie.”

Aku merenggut kecil. “Soto mie lagi?”

“Aku suka soto mie.” Luana mengangguk lalu mendahuluiku keluar kelas.

Aku menggeleng dan mengejarnya. “Kamu nggak suka soto mie, Na. Kamu kan paling suka nasi goreng.”

“Tapi mulai hari ini aku jadi suka soto mie,” bantah Luana yang semakin membuatku tak mengerti.

Aku menahan tangannya, “kenapa?”

Wajah Luana mendadak bersemu merah. “Karena aku mau belajar menyukai makanan seseorang yang aku suka.”

Aku dan Luana sama-sama terpaku menatap sesama lainnya. “Apa ini sebuah jawaban, Na?”

“Kamu pikir, siapa orang di dunia ini yang sangat menggilai soto mie, selain laki-laki di depanku ini?” Luana tersenyum lagi. Lalu bergegas pergi mendahuluiku ke kantin.

Aku membatu sesaat. Luana sukses untuk membuat degup jantungku berpacu cepat. Dan kupikir ragaku tertarik terbang ke angkasa. Sampai gemuruh tepuk tangan orang-orang sekitar kembali membawaku menjejak tanah. Aku tersadar.

“Luana, tunggu…”

***

18 September 2012

“Nggak kerasa besok kita wisuda,” ucap Luana sambil melempar batu kecil ke arah danau.

Aku dan Luana sedang duduk di taman. Sore itu adalah sore terakhir kami sebagai anak kuliahan. Besok semua akan di lepas. Di lempar bersama toga dengan penuh kebanggaan. Aku dan Luana akan lulus bersama. Kami akan menjejak langkah ke dunia yang sesungguhnya.

Luana menyandarkan kepalanya di bahuku. Sedangkan aku tak tahan untuk tak membelai puncak kepalanya yang semerbak harum. “Besok adalah hari besar kita. Seharusnya kamu bahagia,” bisikku pelan.

Luana mengangguk. “Aku cuma mengenang masa-masa kuliah. Saat kita banyak tugas. Saat dosen jadi gampang marah. Saat datang terlambat. Dan saat kita mulai berkenalan.” Luana berhenti sejenak tampak menerawang. “Aku nggak akan lupa saat-saat seperti itu,” lanjutnya kemudian.

“Dan aku nggak akan melupakanmu,” balasku yang sukses membuat Luana mencubit perutku pelan dan tersenyum diam-diam.

***

27 September 2013 pukul 11. 25

“Kamu di mana, Na?” panggilku pada Luana dalam telepon.

Hari ini Luana mengajakku ke sebuah tempat. Tempat yang sangat spesial katanya. Kami akan merayakan dua tahun anniversary hari jadian. Tapi sebelumnya, aku harus menemui Luana terlebih dulu di tengah kerumunan. Tapi bagaimana kau bisa menemukan seorang wanita bermata hitam kecil di antara ribuan orang yang berlalu lalang.

“Aku nggak jauh dari tempatmu berdiri kok. Bahkan aku bisa ngelihatmu dari sini,” balas Luana di telepon.

Jalan raya itu benar-benar padat. Dari mulai pejalan kakinya, pedangan asongannya dan juga pengendara motornya. Dimana kamu, Na.

Seelah setengah jam pencarian, aku memutuskan berhenti sebentar. Kutengguk dahulu air mineral yang baru kubeli untuk melepas dahaga. Lalu kemudian bangkit dan bersiap lagi untuk mencari Luana. Aku akan menemukanmu, Na. Tak peduli jika kau sembunyi hingga ke ujung dunia. Tunggu saja.

***

27 September 2013 pukul 13.00

Aku akhirnya melihat Luana. Ia sedang berdiri di salah satu sudut jalan. Senyumnya bahkan bisa kutemu. Aku mendekatinya. Tapi seorang pengendara motor juga sedang mendekatinya. Aku tak tahu siapa di antara kita yang lebih cepat sampai ke sana.

“Luana, awas!”

***

28 September 2014

Luana mengunjungiku. Ia masih tersenyum seperti dulu. Aku menyambutnya. Kemudian memeluknya seperti sedia kala. Tapi kali ini dia tak balas memelukku. Ia hanya membatu. Lalu satu persatu bulir air matanya mulai luruh.

Setelah lima menit berdiri di sana, Luana kemudian menabur bunga di atas pusaraku. Lalu ia pergi meninggalkan pemakaman itu.

Di dalam buket bunga itu terdapat sebuah tulisan. Tulisan Luana.

Setahun sudah. Tetapi aku tak akan pernah melupakanmu, Satria.

***

27 September 2013 pukul 13.10

“Luana, awas!”

Setelah sadar ada yang mengawasi, pengendara motor yang ugal-ugalan itu tidak jadi mengincar Luana. Ia malah berbalik mengincarku.

Ia mengejarku. Hingga aku terjatuh. Dan truk yang melintas di jalan itu tak dapat mengerem tubuhnya ketika aku tepat berada di bawah roda besarnya.

Tangis Luana memecah. Tapi aku tersenyum sumringah. Aku berhasil menemukanmu, Luana.

***

28 September 2014

Luana pergi. Aku tak bisa menahannya pergi kali ini. Bahkan aku tak bisa lagi menghapus air matanya yang membekas di pipi.

Aku juga tak akan melupakanmu, Luana.

Izinkan September menyimpan semua kisah kita.

Dalam derai hujan.

Bukan air mata.

***

logoRTC
logoRTC
17September2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun