“Bu, kenapa ayah lama sekali pulangnya?” Gadis kecil berkuncir kuda yang daritadi duduk terdiam sekarang bertanya. Wajahnya tampak lesu dengan kelopak mata yang berkedip sayu. Berkali-kali ia memandang langit—beranda rumah—langit—beranda rumah, tapi lelaki bertubuh gagah yang ia kenal sebagai ayah tak juga kunjung tiba.
Sang ibu yang sepertinya sudah terbiasa mendapat pertanyaan itu hanya membalas senyum. Ia lalu membelai rambut putrinya dan di kecupnya mesra sambil berkata, “putri sebaiknya berdoa saja ya. Doakan supaya ayah cepat pulang ke rumah.”
Tapi gadis yang bernama putri itu tak mengacuhkan perkataan ibunya. Ia tetap saja duduk di sana. Mengamati langit lalu ke beranda rumah. “Apa mungkin ayah lupa jalan pulang ya, Bu?”
Sang ibu terkekeh lalu mengenggam kedua tangan putrinya yang tak sampai sekepalan tangan. “Ayah nggak mungkin lupa jalan pulang, Put. Dia hanya belum sempat pulang. Makanya putri doain ayah, ya?”
“Setiap hari Putri doain ayah,” kata si gadis kecil yang masih terpaku ke arah jendela. “Tapi ayah nggak datang juga,” lanjutnya.
“Mungkin doa putri belum didengar oleh Tuhan.” Sang ibu kembali membelai puncak kepala putri semata wayangnya yang ia cinta. “Makanya putri harus lebih banyak berdoa, ya…”
Gadis kecil itu kemudian mengangguk lalu menyungging senyum untuk sang ibu. “Bu, bolehkah putri berdoa supaya ayah datang di hari ulang tahun putri, besok?”
“Boleh, Putri.. Putri boleh meminta apa saja pada Tuhan.”
Gadis kecil itu tersenyum. Ia kemudian berlari ke kamarnya lalu bergegas menggelar sajadah.
***
Keesokan paginya gadis kecil itu kembali duduk dekat jendela. Mengamati lebih teliti lagi antara langit dan beranda rumah. Ia begitu yakin bahwa Tuhan akan mengabulkan doanya kali ini. Dan ayahnya akan segera kembali untuk merayakan ulang tahun ke limanya hari ini.
Jam sembilan.
Gadis kecil itu memakai gaun ulang tahunnya yang paling menawan.
Jam sebelas.
Gadis itu mulai terlihat cemas.
Jam tiga lewat seperapat.
Tetes air mata mulai berjatuhan dengan lambat.
Jam lima lewat setengah.
Gaun ulang tahun itu mulai basah.
Jam enam lewat dua.
Sang ibu mulai gelisah karena putrinya tak juga beranjak dari jendela.
Jam tujuh lewat satu detik.
Sang ibu menghampiri dengan berjuta langkah hati-hati. “Putri… Ayah kirim pesan pada Ibu.”
Gadis kecil itu melonjak gembira. Lalu dihapusnya bulir-bulir air mata yang masih membekas di wajah. “Benar bu? Ayah bilang apa?”
“Ayah ingin kita menemuinya,” ucap sang ibu. Pandangan matanya menerawang jauh melewati jendela—seperti sedang mengamati sesuatu yang tak tampak di depan mata. “Di suatu tempat.”
Gadis kecil itu tersenyum kemudian menarik-narik tangan ibunya, “ayo kita ke sana, bu. Sekarang.”
Sang ibu mengangguk. Lalu mereka berdua menaiki Daihatsu hitam dan berjalan menembus malam.
***
10 menit kemudian. Sang ibu menepikan daihatsu hitamnya di sebuah area sepi di mana terdapat banyak gundukan tanah yang bertabur bunga. Walau usianya baru beranjak lima, gadis kecil itu tampaknya telah paham ia berada di mana, karena wajahnya langsung berubah penuh kengerian.
“Ayah ada di mana, bu?” tanya gadis kecil itu.
Sang ibu mengarahkan jari telunjuknya ke salah satu gundukan tanah yang berhimpitan. “Di sana.”
Mereka berdua lalu mendekati dengan langkah hati-hati. Nisan itu terlihat masih baru, bunga-bunga di atasnya pun belum terlihat layu. Sang ibu langsung terduduk di samping pusara. Ia lalu menangis dalam diam.
“Maafin ibu, Put. Ibu nggak pernah berani untuk cerita sama Putri. Ibu sudah berbohong sama Putri. Ayah nggak akan kembali pada kita. Ia sudah tenang di sana.”
Gadis kecil yang sedari tadi hanya membatu di samping sang ibu kini ikut jatuh terduduk. Matanya masih melekat pada batu yang bertuliskan nama sang ayah. Ia tampak tak percaya. “Ayah… Putri rindu ayah…”
“Ayah kenapa nggak pamit sama Putri kalau mau pergi? Putri selama ini nungguin Ayah setiap hari. Putri berdoa sama Tuhan supaya Ayah cepat pulang. Dan akhirnya doa Putri terkabul hari ini. Putri bisa bertemu ayah lagi. Walau bukan di rumah seperti biasa.”
Mendengar ucapan putrinya yang sendu makin membuat tangisan sang Ibu semakin tersedu. Air matanya bertambah deras—membuat gundukan tanah itu bertambah basah.
“Ayah… Putri rindu ayah… Jangan lupakan Putri ya, yah…” ucap gadis kecil itu kemudian memeluk pusara ayahnya dengan penuh rindu.
8 September2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI