Sang ibu menghampiri dengan berjuta langkah hati-hati. “Putri… Ayah kirim pesan pada Ibu.”
Gadis kecil itu melonjak gembira. Lalu dihapusnya bulir-bulir air mata yang masih membekas di wajah. “Benar bu? Ayah bilang apa?”
“Ayah ingin kita menemuinya,” ucap sang ibu. Pandangan matanya menerawang jauh melewati jendela—seperti sedang mengamati sesuatu yang tak tampak di depan mata. “Di suatu tempat.”
Gadis kecil itu tersenyum kemudian menarik-narik tangan ibunya, “ayo kita ke sana, bu. Sekarang.”
Sang ibu mengangguk. Lalu mereka berdua menaiki Daihatsu hitam dan berjalan menembus malam.
***
10 menit kemudian. Sang ibu menepikan daihatsu hitamnya di sebuah area sepi di mana terdapat banyak gundukan tanah yang bertabur bunga. Walau usianya baru beranjak lima, gadis kecil itu tampaknya telah paham ia berada di mana, karena wajahnya langsung berubah penuh kengerian.
“Ayah ada di mana, bu?” tanya gadis kecil itu.
Sang ibu mengarahkan jari telunjuknya ke salah satu gundukan tanah yang berhimpitan. “Di sana.”
Mereka berdua lalu mendekati dengan langkah hati-hati. Nisan itu terlihat masih baru, bunga-bunga di atasnya pun belum terlihat layu. Sang ibu langsung terduduk di samping pusara. Ia lalu menangis dalam diam.
“Maafin ibu, Put. Ibu nggak pernah berani untuk cerita sama Putri. Ibu sudah berbohong sama Putri. Ayah nggak akan kembali pada kita. Ia sudah tenang di sana.”