“Nak Rio, ini Ilham—teman Hasna.”
Rio tersenyum. Lalu mengulurkan sebelah tangan.Tapi kuabaikan.
Karena aku mulai naik darah. “Apa maksud Abah dia calon suami Hasna?”
Abah menatapku seperti dulu, “Hasna itu wanita bebas. Dia boleh menentukan siapa saja yang akan jadi pendamping hidupnya.”
“Tapi, Bah. Aku sudah…”
Perkataanku tercekat karena saat itu Hasnapun ikut keluar.
“Na, dia bukan calon suami kamu kan? Aku calon suami kamu, Na. Aku bahkan sudah menyicil rumah kecil kita yang penuh petak-petak flamboyan—supaya kamu tak perlu lagi pergi ke taman untuk melihatnya.”
Hasna diam saja. Aku tahu ini merupakan kesempatan emas Abah untuk berbicara, karena kemudian dia maju selangkah dan menatapku lekat-lekat. “Kau sudah keduluan, nak Ilham. Hasna sudah menerima lamaran Rio.”
“Tapi saya yang memintanya dulu, Bah. Bahkan dari dua tahun yang lalu.”
Abah menggeleng. “Oh tidak, nak. Perjodohan ini sudah di usung jauh lebih lama sebelum kau meminta. Mungkin jauh lebih lama sebelum kau mengenal Hasna. Ini..” Abah terdengar ragu sesaat kemudian berkata, “ada hubungan dengan bisnis keluarga. Kautahu kan, nak. Bisnis harus tetap berjalan.”
Aku rasanya sudah ingin berteriak saja. Tapi Hasna tetap terpekur di tempatnya, menunduk—entah sedang mengamati apa. Sedangkan Rio berusaha menyembunyikan wajah. Dan Abah mulai bergerak gelisah.