Suatu siang ketika pulang sekolah, aku meminta izin Ibu untuk bermain sampai agak larut malam ke rumah teman. Ibu tadinya mengernyit sambil memandangku tak percaya. Tapi karena besok hari libur, jadilah Ibu membolehkanku.
Aku sebenarnya berbohong. Aku sama sekali tidak bermain ke rumah teman, melainkan menaiki angkutan umum untuk sampai ke kota. Mungkin ideku agak terbilang gila, karena aku akan mengelilingi kota untuk mencari pria gagah bermata abu-abu yang mungkin saja adalah ayahku.
Namun, setelah sampai di tengah kota, pikiranku mendadak buyar. Bagaimana kau bisa menemukan pria gagah bermata abu-abu di kota sebesar ini. Kulihat kanan-kiri berdiri mal-mal megah dan hotel ternama yang bahkan tak pernah bermimpi untuk kukunjungi. Dari mana kuharus memulai pencarian ini?
Aku kemudian melihat sebuah bangunan yang tampaknya seperti sebuah kantor kecil. Mungkin saja ayahku bekerja di sana. Aku langsung bergegas. Tapi setelah dua jam pencarian yang melelahkan, tak kunjung kutemukan pria bermata abu-abu dengan rambut hitam berantakan. Kebanyakan pria di sini matanya hitam dan coklat. Tak ada yang bahkan sedikit pun yang mendekati abu-abu. Aku mendesah kecewa.
Lalu aku bergegas mengunjungi sebuah hotel megah yang mempunyai entah berapa lantai. Tinggi sekali rasanya. Aku berkeliling ke sana kemari di dalam hotel. Mencoba mengamati setiap pria yang keluar-masuk dengan sembunyi-sembunyi. Namun setelah satu jam di sana, salah satu resepsionis menghampiriku dan menanyakan apakah aku sedang menunggu sesuatu. Kubilang tidak. Kemudian dia menyuruhku pergi dengan ungkapan terhalus yang bisa kumaknai.
Aku mulai menyerah. Dan kakiku juga mulai lelah. Mungkin pekan depan aku akan kembali dan mencari lagi. Dan sementara itu aku menaiki angkutan umum yang akan membawaku kembali ke rumah—sambil mencoba membayangkan bagaimana reaksi Ibu ketika aku berhasil membawa ayah ke hadapannya? Marah? Benci? Atau mungkin gembira? Kuharap Ibu gembira.
Dan entah mengapa aku merasa panas sekali ketika masuk ke angkot itu. Jadilah kuminta seorang pria yang duduk di dekat jendela untuk bergeser sedikit supaya aku bisa membukanya. Dan betapa terkejutnya aku ketika ia balas memandangku dengan mata abu-abu.
Aku sampai membatu sekian lama, dan akhirnya lupa untuk membuka jendela. Sampai-sampai pria dengan mata abu-abu tadi mengangetkanku dengan berkata, "Mba, tidak jadi membuka jendela?"
Ini mungkin kesempatanku. Aku jarang sekali menemukan pria bermata abu-abu. Lalu mataku bergerak ke atas. Rambut hitamnya juga agak terkesan berantakan, walau masih di level sedang. Dan yang kuperlukan sekarang adalah keberanian. Ya, sedikit keberanian untuk bertanya.
Bibirku bergetar, tak mampu rasanya mengucap sepatah kata. Tapi aku terus berusaha. Ya. Sekarang. Atau tidak selamanya. "Mm, maaf Pak. Saya mau tanya, apa Bapak punya anak yang bernama Ranum?"
Pria itu jelas sekali terlihat bingung. Bahkan aku bisa melihat kumis tipisnya yang ikut bergoyang kebingungan. Ia berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak, Mba. Anak saya cuma dua. Hani dan Gana."