“Yaa kesini gadis kecil. Dan bersandarlah di dadaku yang gagah.”
“Dia tak akan mendengar kita, Kam—bagaimanapun kau mencoba.”
Gadis kecil itu maju selangkah dan memandang sebentar dua pohon tua yang berdiri berdekatan di area pemakaman itu. Pohon yang rimbun—pikirnya pertama kali. Lalu ia jatuh terduduk. Dan kembali menangis tersedu.
“Jangan menangis, gadis kecil. Siapa yang baru saja meninggalkanmu hari ini?” Kam bertanya dalam desah angin.
Memang benar, gadis itu tak mendengar ucapan seorang pohon tua yang bernama Kam itu. Ia terus saja menangis dan menangis tiada henti sampai membuat seluruh bajunya basah oleh air mata.
“Toh dia akan berhenti menangis sendirinya, Kam. Tak perlu direpotkan.”
“Jangan terlalu kasar padanya, Boo. Dia masih kecil. Dia juga sendirian. Oh, sudahlah gadis kecil, semua yang hidup pastilah akan mati. Bahkan kamipun juga akan mati. Semua sudah diatur oleh-Nya. Tak ada yang perlu kau sesali dan juga tangisi,” bisik Kam tak henti-hentinya.
Gadis kecil terus saja menangis di dada Kam. Tapi kali ini tangisnya agak mereda. Dan setelah beberapa saat kemudian, ia tertidur pulas, hingga mendengkur.
“Nah lihat kan, dia berhenti juga,” ucap Boo penuh kemenangan.
Kam mengernyit. “Dia sudah lelah, Boo. Diamlah. Kau akan membangunkannya.”
Malam lalu datang, dan gadis kecil itu bangun dengan setengah terkaget. Ia menatap sekelilingnya dengan bingung. Lalu ia teringat. Ia kembali memusatkan perhatiannya kepada dua pohon tua yang telah menemaninya tertidur tadi.