Gadis itu mengulas senyum. Kemudian memeluk dua pohon tua itu bergantian. Dan bergegas pergi.
“Lihatlah, Boo, dia sudah tersenyum lagi sekarang. Dan dia pulang tanpa air mata.”
Pohon tua—Boo—hanya tersenyum. Mau tak mau ia juga memerhatikan langkah gadis kecil yang perlahan mulai menghilang dalam keremangan malam.
“Hei apa yang kalian peributkan sejak tadi?” tanya seorang pohon tua yang terletak sedikit lebih jauh dari Kam dan Boo. “Ah gadis kecil itu ya?”
“Iya, Jaa. Kasihan sekali dia,” balas Kam yang sudah kehilangan jejak si gadis kecil. “Kau tahu siapa yang baru saja mati—meninggalkannya? Kurasa makamnya dekat denganmu?”
Jaa mengangguk. “Ah ya.. Lima hari lalu, ayahnya mati dan dikubur di sini. Dan tiga hari lalu, neneknya menyusulnya mati. Dan hari ini ibunya pergi juga. Kasihan dia. Sudah tak punya siapa-siapa. Tapi aku barusan melihatnya pulang sambil tersenyum. Benar-benar gadis kecil yang tegar.”
Kam tiba-tiba melihat Boo meneteskan air mata. “Kau menangis, Boo?”
“Tentu aku akan menangis, jika dalam seminggu aku kehilangan semua keluargaku sekaligus. Sungguh gadis yang tegar,” ucap Boo yang kini bersusah payah menghapus air matanya.
Kam tersenyum. Namun itu bukan senyum menghina. Itu senyum kasih sayang seorang sahabat. “Sudahlah, Boo. Caramu mengatakan, seperti itu bukan hal yang lumrah saja.”
27Agustus2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H