Laki-laki yang berada agak ke belakang membuang ludah dengan suara duh keras. “Lu kira kita bisa diboongin sama anak ingusan yang bau kencur kaya elu, hah?”
Thalia menggeleng—masih berusaha membuat jarak sejauh mungkin dengan kedua lelaki kekar tersebut. “Saya tak bohong, pak! Lihat saja.”
Thalia memperlihatkan dagangan tisunya yang masih utuh. Tapi kedua lelaki itu malah menyeringai lebar sambil memandang Thalia dengan kilat membahayakan.
“Halah kita gak mau tau! Dan kita nggak peduli dagangan lu laku apa kagak. Pokoknya kalo nanti malem lu nggak ngasih setoran, abis lu disini!” raung salah satu lelaki tersebut dan menendang dagangan tisu Thalia sehingga bertebaran kemana-mana.
Thalia tak bergeming hingga kedua laki-laki itu menghilang di sudut gang. Setelah kira-kira dua menit berlalu, ia baru merapihkan tisunya sambil menggigit bibir—menahan tangis.
Dan Thalia benar-benar menangis setelahnya. Ia meringkuk di depan warung makan selama satu jam, sampai sang empunya warung menghampirinya dengan satu bungkusan nasi yang baunya menusuk-nusuk hidung Thalia dengan tajam.
“Saya nggak pesan ini, bu.” Thalia berkata lemah.
“Ini buat kamu gratis, dek. Nah sekarang jangan nangis lagi ya,” balas si Ibu warung dengan ramah.
Thalia lalu mengeluarkan sisa uangnya yang kemarin—selembar dua ribuan—disodorkannya uang itu kepada si ibu warung. “Ini bu. Saya cuma punya uang segini.”
Sang ibu menggeleng mantap, “uangnya kamu simpan saja ya, dek.”
Dengan halus uang itu di serahkan kembali ke tangan Thalia yang membuat gadis kecil itu hampir menangis lagi—saking terharunya. “Terima kasih banyak ya, bu.”