Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis dalam Kereta

6 Juli 2016   11:40 Diperbarui: 6 Juli 2016   11:57 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petugas berseragam biru itu hanya mengangkat tangan berusaha menenangkan. “Tenang ya ibu-ibu. Kami juga sedang mencari tahu penyebabnya apa.”

Dan keluhan itu terus berlanjut hingga setengah jam berikutnya. Setelah dua jam, barulah suasana kembali senyap. Orang-orang yang tadi mengomel, sekarang mulai mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang di sana. Orang-orang yang tadinya tertidur pulas sampai terbuka mulutnya kini mulai bergerak-gerik gelisah. Petugas berseragam biru yang tadinya dikepung oleh sekelompok ibu-ibu dan bapak-bapak yang marah-marah, kini mulai dibebaskan untuk pergi. Dan murid yang dari tadi membolak-balikan catatannya untuk persiapan ujian hari ini, sekarang telah terduduk lesu di sudut kereta. Mungkin ia sadar, ia tak mungkin mengikuti ujian dan terpaksa harus diulang di lain hari. Cendana pun sama. 5 menit yang lalu, gadis itu telah menelepon salah seorang temannya untuk memberitahukan bosnya bahwa hari ini ia akan telat karena pemberhentian kereta. Entah ia akan sampai jam berapa, tapi gadis itu telah berjanji akan tetap datang ke kantor kerjanya.

Cendana bekerja di sebuah kantor Advertising di daerah Duri, Jakarta Selatan. Ia ingat betul bahwa sebenarnya ia tak ingin bekerja di sini. Cita-citanya selepas masa SMA ialah melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri. Dan impian itu tercapai ketika pengumuman SNMPTN—seminggu sebelum kelulusan. Ia diterima. Cendana tak dapat mengukirkan bagaimana perasaan bahagianya kala itu. Dari sekian ratus orang yang mendaftar di perguruan tinggi tersebut, hanya dia yang diterima lewat jalur seleksi prestasi. Tapi impian itu kandas ketika ayahnya mulai sakit-sakitan dan tak dapat lagi bekerja. Cendana sebagai anak pertama mau tak mau harus menggantikan posisi sang ayah untuk menafkahi keluarga. Jadilah ia bekerja di kantor ini berkat informasi dari salah seorang kenalan ibunya. Cendana tak pernah menceritakan kepada siapapun betapa kecewanya ia yang tak jadi masuk ke kampus impiannya itu.

Tapi Cendana mempunyai janji, jika suatu saat nanti ia mempunyai cukup uang, ia akan gunakan uang itu untuk masuk ke salah satu universitas swasta. Kuliah sambil bekerja. Dan hari itu akhirnya tiba. Cendana bersama Rani—adiknya, dan ibunya berniat mendatangi kampus yang telah diincarnya hari itu. Perjalanan Manggarai ke Depok seharusnya tak memakan waktu selama itu. Tapi entah mengapa hari itu kereta juga mengalami pemberentian cukup lama seperti saat ini.

Cendana berdiri di samping sang ibu yang duduk bersama Rani—adiknya yang masih kelas satu SMP. Gadis itu tak mempunyai firasat apapun tentang sesuatu yang akan terjadi pada hari itu. Semuanya terjadi begitu saja. Ibunya—Rahmanah—yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba mengalami kejang-kejang dan serangan jantung. Cendana langsung panik dan berteriak minta tolong sambil memegangi pundak ibunya dibantu Rani. Beberapa petugas berseragam biru mendatangi gadis itu dengan membawa sekotak peralatan P3K. Tapi mereka sadar, sakit ibu itu tidak bisa disembuhkan dengan peralatan P3K yang mereka bawa. Kereta sedang berhenti dan entah berapa lama lagi baru diizinkan untuk berjalan. Cendana putus asa dan mulai meneteskan air mata. Ia hanya ingat, ia terus memangil-manggil ibunya dan tak lama dari itu kereta berjalan.

Keterlambatan penanganan ialah salah satu faktor penyebab meninggalnya sang ibu. Cendana tak pernah menyalahkan siapapun. Tidak kereta. Tidak juga petugas penyelamatannya. Ia berusaha menerima bahwa ini memang sudah seharusnya terjadi. Rencana memperkenalkan kampus kepada sang ibu dan adiknya hari itu benar-benar gagal. Cendana mengurusi pemakaman, dan Rani hanya menangis di sudut pintu kamar. Tak mau keluar.

Sang Ayah—Sukarman—berusaha menenangkan Cendana dengan menepuk pundaknya pelan.

“Yang sabar ya, Ndo..” ucap sang Ayah lembut lalu kembali pergi membenahi pemakaman istrinya.

Cendana hanya diam mematung. Ia tak banyak bicara sejak saat itu. Impiannya yang sejak dulu menggantung di depan keningnya, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi. Melihat umurnya sekarang, rasanya sudah tak pantas lagi dirinya berada diantara mahasiswa baru yang akan mengikuti kegiatan ospek. Bukankah umurnya kini pantas bersanding diantara mahasiswa lain yang akan diwisuda? Temannya—Hani—dua minggu lalu bahkan telah mengirim foto wisudanya bersama sang ayah dan dua orang kakaknya. Cendana merasa ingin marah sepuas-puasnya. Tapi ia belum menemukan pelampiasan amarah yang pantas.

Tak terasa, akhirnya kereta jurusan Manggarai-Duri kembali berjalan. Wajah-wajah pasrah penumpang perlahan meninggalkan jejaknya. Dan suara denting bel Stasiun Duri menandakan berakhirnya perjalanan Cendana di dalam kereta.

Ketika Cendana hendak turun, sang petugas kereta—Benny Setiawan, menghampiri Cendana. Cendana tak yakin akan apa yang ingin dibicarakan petugas itu, ia menunggu beberapa saat, tapi sang petugas itu tetap tidak berkata apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun