Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat Lingkungan

Sedang belajar mengompos, yuk bareng!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis dalam Kereta

6 Juli 2016   11:40 Diperbarui: 6 Juli 2016   11:57 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kereta. Mode transportasi yang satu ini sepertinya sudah menjadi makanan pokok bagi warga kota yang akan menunaikan kewajiban sehari-harinya. Tak dapat disangkal lagi memang, bahwa transportasi bergerbong itu kini telah menjadi primadona yang digandrungi hampir separuh masyarakat kota. Mungkin karena harganya yang relatif murah. Atau mungkin tempatnya yang nyaman dengan air conditioner dan televise mini yang dipasang di tengah-tengah koridor.

Bunyi gesekan roda kereta dengan rel, laksana lagu yang meninabobokan para penumpangnya. Hal ini bisa dilihat dari segelintir orang yang tertidur pulas sampai-sampai mulutnya terbuka. Tapi hal itu tidak pernah terjadi pada gadis yang kini sedang berdiri di dekat pintu kereta. Namanya Cendana. Mungkin bukan nama yang pantas bagi seorang gadis bermata keabu-abuan dengan rambut hitam yang selalu dibiarkannya tergerai. Tapi begitulah sang ibu menamainya. Sebenarnya Cendana tidak terlalu menyukai mode transportasi ini. Tapi tuntutan pekerjaanlah dan biaya hidup yang memaksanya begini. Hanya kereta yang masih sanggup ditutupi dompetnya.

Ada satu kenangan buruk yang hingga kini masih terngiang di benak Cendana. Dua tahun lalu, ibunya—Rahmanah—meninggal ketika sedang duduk di salah satu kursi kereta itu. Serangan jantung mendadak. Itu yang membuat dirinya tak terlalu menyukai transportasi ini dan tidak pernah menempati tempat duduk di dalamnya—betapapun kosongnya. Cendana lebih menyukai berdiri di sini, Di dekat pintu kereta yang mempunyai sepasang jendela lebar. Dirinya selalu tersenyum ketika mengamati baris-baris pepohonan yang menghijau di pagi hari. Atau deretan gedung pencakar langit yang rasanya ikut berjalan mengikutinya. Walau pemandangan yang dilihatnya hari demi hari ialah sama, tapi entah mengapa ia tak pernah bosan.

Perjalanan Manggarai-Duri bisa memakan waktu 40 menit jika tak ada halangan. Atau mungkin bisa sampai 1 jam jika ada sesuatu menghalangi. Seperti saat ini. Gadis itu tak banyak bertingkah sekalipun orang-orang telah mengeluh karena jadwal kereta yang sangat terlambat. Cendana hanya berpikir, keluhan tak mungkin bisa membuat kereta ini berjalan. Di saat orang di sekitarnya mulai gerah akan penantian, gadis itu malah menatap tenang ke arah jendela. Kesendiriannya semenjak ditinggal pergi ayah dan ibu telah membuatnya tidak menyukai keramaian. Ia benar-benar tidak suka terperangkap di tengah kerumunan orang. Tapi kalau terpaksa seperti ini, biasanya gadis itu akan memejamkan matanya dan berusaha membayangkan sesuatu yang indah.

Tapi kali ini memang berbeda. Kereta sudah berhenti hampir selama satu setengah jam, ini tentu sudah melewati batas normal keterlambatan yang sudah diperkirakan semua orang. Termasuk Cendana. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk menanyakan langsung pada petugas. Tak mungkin sulit menemukan pria berseragam biru dengan topi putih di kereta itu. Yang sulit itu hanya menghampirinya, karena petugas itu sekarang telah dikepung oleh setengah penumpang yang sedang marah-marah. Tapi entah mengapa petugas itu seperti menyadari kehadiran seseorang yang ingin menemuinya. Cendana terheran ketika mata petugas itu bertemu dengan matanya selama beberapa saat. Gadis itu tak mengerti. Tetapi ia memilih kembali ke posisinya semula.

Cendana memang mempunyai firasat tentang petugas itu. Ia merasa petugas yang mempunyai tanda pengenal Benny Setiawan itu telah mengekor pandangan matanya selama beberapa minggu ini. Cendana beberapa kali ingin menangkap basah perbuatan petugas itu dengan berbalik mengekori pandangannya. Tapi hingga kini usahanya belum berhasil.

Pernah suatu kali petugas itu malah sempat mempersilahkannya duduk karena bangku di kereta itu banyak yang kosong. Cendana terlalu kaget untuk menjawab. Jadi ia memilih menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Sebenarnya Cendana menyukai perawakan petugas itu. Ia—pria berbadan tegap dengan kulit sawo matang. Alis matanya tebal menaungi mata hitamnya yang mempunyai sorot tajam dan tegas. Hidungnya ramping diakhiri dengan dagu yang ditumbuhi sedikit janggut.

“Mas, ini kereta kenapa sih? Berhenti kok sampai satu setengah jam,” sahut salah seorang ibu-ibu berseragam kantor, lengkap dengan tas tangannya yang modis.

“Tahu, kenapa sih ini! Udah dari rumah telat, eh di kereta tambah telat,” timpal ibu-ibu lain tak kalah keras.

“Duh.. Ujian. Telat lagi.” Salah seorang murid dengan seragam putih biru, ikut-ikutan mengomel.

Petugas berseragam biru itu hanya mengangkat tangan berusaha menenangkan. “Tenang ya ibu-ibu. Kami juga sedang mencari tahu penyebabnya apa.”

Dan keluhan itu terus berlanjut hingga setengah jam berikutnya. Setelah dua jam, barulah suasana kembali senyap. Orang-orang yang tadi mengomel, sekarang mulai mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang di sana. Orang-orang yang tadinya tertidur pulas sampai terbuka mulutnya kini mulai bergerak-gerik gelisah. Petugas berseragam biru yang tadinya dikepung oleh sekelompok ibu-ibu dan bapak-bapak yang marah-marah, kini mulai dibebaskan untuk pergi. Dan murid yang dari tadi membolak-balikan catatannya untuk persiapan ujian hari ini, sekarang telah terduduk lesu di sudut kereta. Mungkin ia sadar, ia tak mungkin mengikuti ujian dan terpaksa harus diulang di lain hari. Cendana pun sama. 5 menit yang lalu, gadis itu telah menelepon salah seorang temannya untuk memberitahukan bosnya bahwa hari ini ia akan telat karena pemberhentian kereta. Entah ia akan sampai jam berapa, tapi gadis itu telah berjanji akan tetap datang ke kantor kerjanya.

Cendana bekerja di sebuah kantor Advertising di daerah Duri, Jakarta Selatan. Ia ingat betul bahwa sebenarnya ia tak ingin bekerja di sini. Cita-citanya selepas masa SMA ialah melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri. Dan impian itu tercapai ketika pengumuman SNMPTN—seminggu sebelum kelulusan. Ia diterima. Cendana tak dapat mengukirkan bagaimana perasaan bahagianya kala itu. Dari sekian ratus orang yang mendaftar di perguruan tinggi tersebut, hanya dia yang diterima lewat jalur seleksi prestasi. Tapi impian itu kandas ketika ayahnya mulai sakit-sakitan dan tak dapat lagi bekerja. Cendana sebagai anak pertama mau tak mau harus menggantikan posisi sang ayah untuk menafkahi keluarga. Jadilah ia bekerja di kantor ini berkat informasi dari salah seorang kenalan ibunya. Cendana tak pernah menceritakan kepada siapapun betapa kecewanya ia yang tak jadi masuk ke kampus impiannya itu.

Tapi Cendana mempunyai janji, jika suatu saat nanti ia mempunyai cukup uang, ia akan gunakan uang itu untuk masuk ke salah satu universitas swasta. Kuliah sambil bekerja. Dan hari itu akhirnya tiba. Cendana bersama Rani—adiknya, dan ibunya berniat mendatangi kampus yang telah diincarnya hari itu. Perjalanan Manggarai ke Depok seharusnya tak memakan waktu selama itu. Tapi entah mengapa hari itu kereta juga mengalami pemberentian cukup lama seperti saat ini.

Cendana berdiri di samping sang ibu yang duduk bersama Rani—adiknya yang masih kelas satu SMP. Gadis itu tak mempunyai firasat apapun tentang sesuatu yang akan terjadi pada hari itu. Semuanya terjadi begitu saja. Ibunya—Rahmanah—yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba mengalami kejang-kejang dan serangan jantung. Cendana langsung panik dan berteriak minta tolong sambil memegangi pundak ibunya dibantu Rani. Beberapa petugas berseragam biru mendatangi gadis itu dengan membawa sekotak peralatan P3K. Tapi mereka sadar, sakit ibu itu tidak bisa disembuhkan dengan peralatan P3K yang mereka bawa. Kereta sedang berhenti dan entah berapa lama lagi baru diizinkan untuk berjalan. Cendana putus asa dan mulai meneteskan air mata. Ia hanya ingat, ia terus memangil-manggil ibunya dan tak lama dari itu kereta berjalan.

Keterlambatan penanganan ialah salah satu faktor penyebab meninggalnya sang ibu. Cendana tak pernah menyalahkan siapapun. Tidak kereta. Tidak juga petugas penyelamatannya. Ia berusaha menerima bahwa ini memang sudah seharusnya terjadi. Rencana memperkenalkan kampus kepada sang ibu dan adiknya hari itu benar-benar gagal. Cendana mengurusi pemakaman, dan Rani hanya menangis di sudut pintu kamar. Tak mau keluar.

Sang Ayah—Sukarman—berusaha menenangkan Cendana dengan menepuk pundaknya pelan.

“Yang sabar ya, Ndo..” ucap sang Ayah lembut lalu kembali pergi membenahi pemakaman istrinya.

Cendana hanya diam mematung. Ia tak banyak bicara sejak saat itu. Impiannya yang sejak dulu menggantung di depan keningnya, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi. Melihat umurnya sekarang, rasanya sudah tak pantas lagi dirinya berada diantara mahasiswa baru yang akan mengikuti kegiatan ospek. Bukankah umurnya kini pantas bersanding diantara mahasiswa lain yang akan diwisuda? Temannya—Hani—dua minggu lalu bahkan telah mengirim foto wisudanya bersama sang ayah dan dua orang kakaknya. Cendana merasa ingin marah sepuas-puasnya. Tapi ia belum menemukan pelampiasan amarah yang pantas.

Tak terasa, akhirnya kereta jurusan Manggarai-Duri kembali berjalan. Wajah-wajah pasrah penumpang perlahan meninggalkan jejaknya. Dan suara denting bel Stasiun Duri menandakan berakhirnya perjalanan Cendana di dalam kereta.

Ketika Cendana hendak turun, sang petugas kereta—Benny Setiawan, menghampiri Cendana. Cendana tak yakin akan apa yang ingin dibicarakan petugas itu, ia menunggu beberapa saat, tapi sang petugas itu tetap tidak berkata apa-apa.

Cendana tak mengerti mengapa petugas masih mematung di hadapannya, ia memutuskan untuk turun, namun petugas itu malah menarik tangannya sambil berkata, “Tunggu.”

Sang petugas berseragam biru lengkap dengan topi putih berlambang walka itu lalu mengeluarkan secarik amplop mungil yang dihias tanda cinta di bagian ujungnya. Ia juga menyelipkan setangkai mawar merah. Mawar kesukaan Cendana.

Cendana terlalu kaget untuk bereaksi. Selama beberapa detik pandangannya menancap pada amplop dan mawar merah itu. Lalu pandangannya bergulir ke atas. Ke arah sang pemberi. Lelaki itu mengangguk. Beberapa penumpang kereta yang belum turun memilih menyaksikan kejadian itu dengan seksama. Cendana mulai merasakan pandangan mereka yang tertuju padanya dengan sangat serius. Keretapun seakan mendukung suasana kala ini dengan berhenti sedikit lebih lama di Stasiun Duri. Alam membiarkan semuanya selesai sekarang juga.

Cendana berusaha mengalihkan pandangan orang-orang selain untuk tertuju padanya. Tetapi ia tahu usahanya akan gagal. Pandangan mereka tak akan berhenti sampai dirinya mengambil sebuah keputusan. Menerima. Atau menolak pemberian itu.

Dengan menarik napas dalam, akhirnya gadis itu memutuskan untuk menerima. Ia meraih surat mungil dan mawar itu dengan gemetar pelan.

Cendana tersenyum. Kereta begitu banyak menyimpan rahasia tentang dirinya. Rahasia amarahnya. Rahasia bangganya. Rahasia pedihnya. Rahasia kecewanya.

Dan kini, mungkinkah kereta juga akan menyimpan rahasia cintanya.

-selesai-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun