Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

2025: Menjadi Fanatik?

9 Januari 2025   09:40 Diperbarui: 9 Januari 2025   09:40 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tangkap Layar Akun S Aji

Dalam politik, filsafat, teologi, bahkan kritik terhadap budaya popular menjadi fanatik adalah terjerembab kedalam eksistensi yang buruk.  

Secara umum, fanatik adalah orang yang membabibuta berpegang teguh pada apa yang terlanjur diyakini sebagai kebenaran mutlak-tunggal. Ia dapat bekerja dalam keyakinan akan yang ilahiah, ideologi politik, dan pengidolaan pada figur industri tontonan. 

Tak salah jika Friedrich Nietzsche (1844-1900) menyebut orang yang semacam ini menderita pembengkakan sudut pandang.

Sebab itu, menjadi fanatik adalah (1), menghidupi pribadi dengan pikiran tertutup, sudah pasti; (2), Ketidakmampuan mengelola perbedaan dan ketegangan dengan cara-cara dialog adalah keniscayaannya. 

Dan yang tak kalah berbahaya, (3), jika berwujud kedalam massa-yang-fanatik, ia bisa menjadi predator yang bisa memangsa sesama yang dipandang "bukan kita". Seperti kata-kata Denis Diderot, "From fanaticism to barbarism is only one step".

Dalam pada itu, orang-orang fanatik jelas tak kuat hidup dalam kebenaran yang majemuk, apalagi ketakbenaran. Sikap kaku bahkan kerasnya terhadap realitas yang multi ini secara terbalik justru mencerminkan ketakutan sekaligus ketidakmampuan menghadapi ketaktunggalan makna di dunia manusia.

Tak cuma membuat manusia melampaui batas subhumanitasnya, fanatisme juga membuat dunia rentan terbakar oleh kerusuhan atau perang. 

Maka, bisa ditegaskan jika Yang Fanatis selalu khawatir jika bertemu pikiran eksegesis atau skeptis.  

Kompasiana dan "Kasta Fanatik"

Sumber: Tangkap layar akun S Aji
Sumber: Tangkap layar akun S Aji

Berbeda sekali sikap fanatisme yang dikritik dalam alam pikir filsafat, politik, teologi, hingga budaya pop, jenis FANATIK di Kompasiana adalah pengertian yang lain. 

Fanatik di sini adalah perhitungan poin yang akumulasinya menjadi ukuran dari status para penulisnya. Dimulai dari Debutan, Junior, Penjelajah, Fanatik, Senior, Maestro. Kategori begini lebih terlihat sebagai status kewargaan di Kompasiana dibanding capaian kuantitatif kepenulisan. 

Dalam akumulasi ini, yang jauh lebih penting bukanlah deret angka itu sendiri. Seperti mengatakan 100 Tahun Indonesia Merdeka tidak sama dengan Merdeka itu sendiri.

Akan tetapi, yang lebih penting adalah, proses kepenulisan yang terjadi selama masa tertentu yang menjadi bagian dari kerja senyap, bertahap, dan tabah penulis.

Sebab itu juga, sebagai statistik, akumulasi poin Fanatik (50.000) misalnya, berbeda kelas antara yang saya capai dengan yang dicapai tiga orang yang sama-sama kita kagumi: Oma Roselina Tjiptadinata, Opa Tjiptadinata Effendi, dan Engkong Guru Felix Tani.

Oma Rose yang statusnya Senior, misalnya. Hingga 9 Januari 2025 ini, statistik kepenulisan beliau adalah sebagai berikut. Jumlah artikel tayang, 1.720. Keterbacaan 1,353,518. 

Sedang Opa Tjipt yang statusnya Maestro, jumlah artikel tayang sebanyak 7.530, dengan jumlah keterbacaan 6,843,551. Adapun Engkong Felix Tani yang statusnya Senior, jumlah artikel tayang 2.053, dengan keterbacaan 2,225,303.

Satu lagi fakta pentingnya. Oma Rose membuat akun sejak 12 Januari 2013, Opa Tjipt sejak 14 Oktober 2012, dan Engkong Felix sejak 19 Mei 2014.  

Saya sendiri, dengan usia akun sejak 17 Februari 2013 (hanya berselisih sebulan dengan milik Oma Rose), cuma bisa mengumpulkan 50.030 poin dari 945 artikel dengan keterbacaan 821,323. Capaian saya berbanding nyaris 3x lipat tertinggal dari Oma Rose.

Yang lebih mengenaskan lagi, usia biografis saya jauh lebih muda dari mereka dengan produktivitas serupa manusia dengan ketakberdayaan di usia senja. Sedang mereka sebaliknya: orang-orang senja dengan gairah berkarya laksana cahaya fajar.   

Tentu saja statistik ini hanya mewakili sebuah jejak, tapi dari perbandingan sederhana di atas, kita tahu ada usaha yang tidak kenal menyerah. Ada produktivitas yang masih membakar dan konsistensi yang beroperasi di level stabil.

Sampai di titik ini, menjadi FANATIK bagi saya jelas bukan pencapaian. Ia lebih mirip teguran dari dalam diri sendiri. Sekurang-kurangnya dengan menyadari beberapa hal berikut.

Pertama, statistik di atas bukanlah ukuran bagi pencapaian dalam menulis. Dalam batas tertentu, statistik ini bisa menjadi penjara kuantitiatif. Ia menggeser energi produktivitas, misalnya, kepada identifikasi tujuan secara salah. Semacam "berbohong dengan statistik" dalam bentuk yang lain.

Kedua, dalam kaitan panjang dengan perkara di poin pertama, kepenulisan adalah proses panjang sepanjang nafas dikandung badan. Karena itu juga, yang semacam ini adalah pergulatan yang senyap, tak cuma panjang saja. Dengan kesenyapan ini, ia tidak lagi mencari-cari validasi eksternal. 

Ketiga, tak ada resep yang langsung bisa dipakai (ready to use) untuk menjaga proses yang konsisten dalam kepenulisan. Semua dinamika proses, baik yang terjadi di level Debutan atau Maestro, memiliki kerumitan-kerumitan tersendiri. Cara mengelolanya pun akan sama berbeda. Maka temukanlah caramu sendiri. 

Sebagai bagian terakhir dari artikel pendek ini adalah sebuah kutipan. Kata-kata ini mengutip Neil Asher, seorang penulis fiksi sains dari Inggris yang super produktif.

Neil Asher bilang begini. Bagi saya, proses menulis sama dengan proses membaca. Saya ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Jadi tak cuma menjaga konsistensi dalam prosesnya, yang juga menyenangkan dari menulis adalah "sisi yang misterius" dari serangkaian proses yang sedang ditekuni.

Indah, bukan?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun