Dalam politik, filsafat, teologi, bahkan kritik terhadap budaya popular menjadi fanatik adalah terjerembab kedalam eksistensi yang buruk. Â
Secara umum, fanatik adalah orang yang membabibuta berpegang teguh pada apa yang terlanjur diyakini sebagai kebenaran mutlak-tunggal. Ia dapat bekerja dalam keyakinan akan yang ilahiah, ideologi politik, dan pengidolaan pada figur industri tontonan.Â
Tak salah jika Friedrich Nietzsche (1844-1900) menyebut orang yang semacam ini menderita pembengkakan sudut pandang.
Sebab itu, menjadi fanatik adalah (1), menghidupi pribadi dengan pikiran tertutup, sudah pasti; (2), Ketidakmampuan mengelola perbedaan dan ketegangan dengan cara-cara dialog adalah keniscayaannya.Â
Dan yang tak kalah berbahaya, (3), jika berwujud kedalam massa-yang-fanatik, ia bisa menjadi predator yang bisa memangsa sesama yang dipandang "bukan kita". Seperti kata-kata Denis Diderot, "From fanaticism to barbarism is only one step".
Dalam pada itu, orang-orang fanatik jelas tak kuat hidup dalam kebenaran yang majemuk, apalagi ketakbenaran. Sikap kaku bahkan kerasnya terhadap realitas yang multi ini secara terbalik justru mencerminkan ketakutan sekaligus ketidakmampuan menghadapi ketaktunggalan makna di dunia manusia.
Tak cuma membuat manusia melampaui batas subhumanitasnya, fanatisme juga membuat dunia rentan terbakar oleh kerusuhan atau perang.Â
Maka, bisa ditegaskan jika Yang Fanatis selalu khawatir jika bertemu pikiran eksegesis atau skeptis. Â
Kompasiana dan "Kasta Fanatik"