19 Desember.
Ini di antara Kebumen dan Solo Balapan. Sebentar lagi bakal gelap, dan sepanjang perjalanan 9 jam ini, tak ada hujan.Â
Musim tanam padi sepertinya baru dimulai: petak-petak baru dipenuhi hamparan padi muda hijau yang masih jarang. Apakah panen nanti bakal baik-baik saja?
Sebentar lagi Kutoarjo. Pengumuman telah tiba memenuhi isi kabin. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya.
Saya menengok ke luar. Bagimu negeri jiwa raga kami--tulisan ini menyambut ketika memasuki Kutoarjo. Begitu berhenti, ada kereta lain yang berhenti di sebelahnya. Logawa, dengan kabin yang terang benderang. Lalu, seorang mekanik naik ke atapnya menggunakan tangga.
Tidak ada penumpang baru yang memasuki kabin di gerbong ini. Sudah pukul 17.30.
***
120 menit yang lalu, Carry On membuat fokus saya berpindah. Carry On judul dari drama kepahlawanan dengan citarasa Hollywood yang sangat kuat.Â
Pemeran utamanya Taron Egerton (Ethan Kopek), Sofia Carson (Nora Parisi), dan Jason Baterman (Teroris 1). Barusan saja tayang di Netflix.Â
Pokok ceritanya tentang hidup Ethan Kopek, petugas keamanan bandara yang berhasil menggagalkan aksi teror. Ethan adalah ideal tipe Amerika.
Narasi teror yang doyan sekali dieksploitasi oleh mazhab Cold War di Hollywood, dimana drama kepahlawanan orang biasa (selalu) dijangkarkan kedalam ketegangan Amerika Serikat dengan Rusia.Â
Sedang elemen dramatisasinya adalah sang jagoan ini memiliki pacar cantik, Nora Parisi, yang tengah hamil muda, yang karena itu dia berpikir untuk memiliki jabatan yang lebih tinggi; dia ingin menjadi ayah yang tak cukup cuma baik, tapi bikin bangga.Â
Di sisi lain, pacarnya ingin ia kembali melamar di kepolisian sesudah kegagalan pertama. Kegagalan ini tidak milik dirinya sendiri tapi seolah-olah saja terwariskan. Sebelumnya, bapaknya Ethan juga berkali-kali gagal pada ambisi yang sama.
Karena itu, kita terus sadar, profile psikologis Ethan Kopek yang bermasalah antara bayang-bayang kegagalan figur bapak dan nasibnya sendiri terhadap jabang bayi di rahim Nora yang cantik.
Tapi Ethan punya modalitas, tak sepenuhnya pecundang naif yang mendadak heroik.Â
Ia adalah juara lari semasa SMA. Dan, ketika harus menghadapi serangan teror, ia mampu dengan cekatan berlari di antara terminal tunggu bandara tanpa ngos-ngosan.Â
Teror itu sendiri adalah jenis teror yang menggunakan senjata kimia. Pelakunya cuma dua orang, dengan pemanfataan teknologi tinggi mampu membobol keamanan bandara di negara adikuasi.Â
Dibumbui sedikit dosis kesintingan dan, tentu saja, kenaifan sutradara, kisah Ethan Kopek berakhir simplistis. Kecemasan dunia di hadapan teror di bandara dibentuk dari pendangkalan yang intens.
Sebentar lagi Stasiun Wates, tempat dimana saya akan turun. Apa kabar Mbah, Bapak, dan kenangan-kenangan?
***
21 Desember, sebuah pertemuan baru saja ditinggalkan. Kecil saja namun dengan energi yang masih meluap-luap, Fight Againts Inequality.Â
Jogja baru usai gerimis. Dengan helm yang sponsnya basah, saya melaju dari Kampung Media di Sleman menuju Stasiun Tugu. Sabtu sore, Malioboro ramai sekali.
"Bisa gak pakai helm, Pak?"
"Gak bisa, kita melewati (jalan utama) kota."
"Helmnya basah, agak bau."
"Lha, iya..."
Berakhir begitu saja, tak ada solusi.Â
Tiba di tujuan, saya terus duduk di kafe Loko, memesan es kopi gula aren dan menatap keramaian dari balik deretan huruf yang menulis Yogyakarta. Ke Gramedia, di lantai dasar sebuah plaza sepertinya menarik dari pada menunggu jam keberangkatan kereta bandara dengan menatap layar gawai.
15 menit kemudian, saya sudah menyusuri koridor Malioboro, memasuki sebuah plaza, melesap ke lantai dasar.Â
Tidak banyak yang bisa dicari di Gramedia yang kecil ini. Kecuali sebuah novel berjudul Anxious People, karya Fredrik Backman.Â
Seketika saya teringat kerumunan di sepanjang jalan Malioboro--dari mana saja mereka, apa yang tidak menarik di tempat asalnya, apakah mereka orang-orang yang cemas?
Novel ini bisa menjadi kawan menghabiskan jenuh dengan Lodaya nanti malam, pikir saya, itu jika tidak lelah dan tertidur.
***
Sudah jam 20.00 WIB. 9 jam ke depan, saya bakalan tiba pada sebuah tempat dimana Bung Karno akan kembali kepada cintanya yang sungguh.
Saya sudah memesan di 13B, kursi yang saya sukai. Sebagaimana orang-orang yang bepergian seorang diri di malam hari, kita tidak ingin bicara dengan siapa-siapa, tersenyum seperlunya, tidak peduli jika disangka tak ramah.
Anxious People? Tapi saya belum lagi makan malam. Ke restoran dulu kalau begitu.
Sesudah kenyang, pikiran saya malah melayang-layang ke sebaris pesan yang dikirim sejak masih di Sleman. Sudahkah ini berjarak 5 tahun lamanya?
Tapi apa bedanya 5 tahun, 20 tahun, bahkan 100 tahun jika kita cuma punya dua pertanyaan: apa kabar dan ada apa? Pertanyaan semacam ini memang dipilih untuk enggan meneruskan percakapan, bukan?Â
Waktu tidak bisa meringkus banyak peristiwa, ingatan yang melakukan itu semua.Â
Selalu ada perkara-perkara yang oleh ingatan disensor secara sengaja. Tapi jejak-jejaknya masih saja mengikuti seperti serbuk terigu di telapak kaki yang basah. Lengket dan bikin tak nyaman.
Sudah masuk tengah malam. Mulai terasa ngantuk sedang cintanya Bung Karno masih terlalu jauh. Pertanyaan yang masih bertahan di kepala adalah untuk apa? sesudah satu rezim politik berkuasa.
Dari dalam kereta, saya hanya melihat orang-orang masih melawan kecemasan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H