Narasi teror yang doyan sekali dieksploitasi oleh mazhab Cold War di Hollywood, dimana drama kepahlawanan orang biasa (selalu) dijangkarkan kedalam ketegangan Amerika Serikat dengan Rusia.Â
Sedang elemen dramatisasinya adalah sang jagoan ini memiliki pacar cantik, Nora Parisi, yang tengah hamil muda, yang karena itu dia berpikir untuk memiliki jabatan yang lebih tinggi; dia ingin menjadi ayah yang tak cukup cuma baik, tapi bikin bangga.Â
Di sisi lain, pacarnya ingin ia kembali melamar di kepolisian sesudah kegagalan pertama. Kegagalan ini tidak milik dirinya sendiri tapi seolah-olah saja terwariskan. Sebelumnya, bapaknya Ethan juga berkali-kali gagal pada ambisi yang sama.
Karena itu, kita terus sadar, profile psikologis Ethan Kopek yang bermasalah antara bayang-banyang kegagalan figur bapak dan nasibnya sendiri terhadap jabang bayi di rahim Nora yang cantik.
Tapi Ethan punya modalitas, tak sepenuhnya pecundang naif yang mendadak heroik.Â
Ia adalah juara lari semasa SMA. Dan, ketika harus menghadapi serangan teror, ia mampu dengan cekatan berlari di antara terminal tunggu bandara tanpa ngos-ngosan.Â
Teror itu sendiri adalah jenis teror yang menggunakan senjata kimia. Pelakunya cuma dua orang, dengan pemanfataan teknologi tinggi mampu membobol keamanan bandara di negara adikuasi.Â
Dibumbui sedikit dosis kesintingan dan, tentu saja, kenaifan sutradara, kisah Ethan Kopek berakhir simplistis. Kecemasan dunia di hadapan teror di bandara dibentuk dari pendangkalan yang intens.
Sebentar lagi Stasiun Wates, tempat dimana saya akan turun. Apa kabar Mbah, Bapak, dan kenangan-kenangan?
***