Novel ini bisa menjadi kawan menghabiskan jenuh dengan Lodaya nanti malam, pikir saya, itu jika tidak lelah dan tertidur.
***
Sudah jam 20.00 WIB. 9 jam ke depan, saya bakalan tiba pada sebuah tempat dimana Bung Karno akan kembali kepada cintanya yang sungguh.
Saya sudah memesan di 13B, kursi yang saya sukai. Sebagaimana orang-orang yang bepergian seorang diri di malam hari, kita tidak ingin bicara dengan siapa-siapa, tersenyum seperlunya, tidak peduli jika disangka tak ramah.
Anxious People? Tapi saya belum lagi makan malam. Ke restoran dulu kalau begitu.
Sesudah kenyang, pikiran saya malah melayang-layang ke sebaris pesan yang dikirim sejak masih di Sleman. Sudahkah ini berjarak 5 tahun lamanya?
Tapi apa bedanya 5 tahun, 20 tahun, bahkan 100 tahun jika kita cuma punya dua pertanyaan: apa kabar dan ada apa? Pertanyaan semacam ini memang dipilih untuk enggan meneruskan percakapan, bukan?Â
Waktu tidak bisa meringkus banyak peristiwa, ingatan yang melakukan itu semua.Â
Selalu ada perkara-perkara yang oleh ingatan disensor secara sengaja. Tapi jejak-jejaknya masih saja mengikuti seperti serbuk terigu di telapak kaki yang basah. Lengket dan bikin tak nyaman.
Sudah masuk tengah malam. Mulai terasa ngantuk sedang cintanya Bung Karno masih terlalu jauh. Pertanyaan yang masih bertahan di kepala adalah untuk apa? sesudah satu rezim politik berkuasa.
Dari dalam kereta, saya hanya melihat orang-orang masih melawan kecemasan.Â