Mungkin dengan modalitas kuasa orang nomor dua yang didukung oleh koalisi politik gemuk, ada surplus otoritas untuk mendorong Pemerintah Daerah bergegas menanggapi keluhan-keluhan tersebut.Â
Yang jadi masalah, Kepala Daerah yang melayani dengan pendekatan karena ada keluhan dan ditegur Wakil Presiden, tidak akan mengubah banyak watak kekuasaan dan produksi elite lokal.Â
Ujungnya, Otonomi Daerah macam apa yang sejujurnya sedang beroperasi?Â
Maka, ketika tumbuh subur pesimisme yang melihat kanal Lapor Mas Wapres hanyalah "perahu kertas yang ingin menarik pulau besar", ya wajar saja. Ini semakna dengan yang mencurigai kanal semacam ini hanyalah gimmick belaka (baca CNN Indonesia), biar Mas Wapres terus mendapat spotlight effect. Â
Kelima, masih nyambung dengan politik gimmick atau pemolesan citra, tantangan Mas Wapres bukanlah kehilangan sorotan publik. Tantangannya adalah melampaui bayang-bayang Sang Bapak. Tidak mereplikasi saja sudah syukur.Â
Jika dahulu di Surakarta, dengan skala kota yang kecil (maaf saja, penduduknya berjumlah 587.646 jiwa, dengan luas wilayah 44 km persegi, dan 5 kecamatan beserta 54 kelurahan), Mas Wapres terlihat menonjol, sekarang tentu tidak begitu dong. Skala dan variasi masalah jauh lebih kompleks.Â
Belum lagi irisan kepentingan politik yang berkelindan membentuk benang kusutnya. Kepentingan politik yang bekerja sebagai "invisible hand" pengatur rezim hari ini.
Keenam, tantangan krusial Mas Gibran sesudah serangkaian manuver politik menjelang dan saat Pemilihan Presiden, media arus utama sudah kehilangan darling stock-nya buat segala yang berkaitan dengan Jokowi (dan keluarganya).Â
Belum lagi suara-suara dari akademisi, aktivis, dan Organisasi Masyarakat Sipil yang emosinya bergerak dari Cinta (Jokowi adalah Kita) menjadi Benci (Jokowi adalah Masalah). Maka, pertanyaannya, bagaimana kecenderungan kontra-produktif ini dibalikkan? Setidaknya, tegangannya dikembalikan ke titik nol.Â
Kanal aduan memiliki daya ubah dalam situasi begini? Yang benar aja.Â
Ketujuh, kanal aduan sudah pernah ada di Balai Kota Jakarta. Di zaman Ahok, ini mungkin terasa seperti terobosan bagi ruang semegapolitan Jakarta. Sikap Ahok yang tegas dan berani menambah bobot optimisme terhadap alur pelayanan publik. Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!