Mengapa kita (butuh) melapor kepada penguasa?Â
Lapor Mas Wapres adalah mekanisme aduan kesekian--dari banyak yang sudah ada-- yang dibikin oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming. Caranya simpel. Tinggal mengirimkan aduan ke nomor Whatsapp 08111 704 2207, keluhan saudara akan direspon.Â
Di samping itu, ada juga mekanisme melapor langsung ke Istana Wakil Presiden, di hari Senin - Jumat, pukul 08.00 - 14.00 WIB. Â
Sepintas lalu, inisiatif yang jelas bukan langkah terobosan, memberi pesan jika Wakil Presiden menginginkan hadir sebagai bagian dari penyelesaian masalah warganya. Tak cuma hadir, dalam pada itu, berkeinginan untuk secepat-cepatnya menyelesaikan masalah tersebut.
Dari aras yang institusional, Istana Wapres (baca: Negara 02) tak cuma ingin dinilai peduli, tapi juga cekatan (dengan 48 Kementerian, jumlah yang paling banyak di era reformasi).Â
Problemnya: dengan realita 38 Provinsi, dengan jumlah penduduk miskin 25,22 juta orang dari 282.477.584 jiwa, dengan utang luar negeri sejumlah  Rp 8.502,69 triliun /Juli 2024, juga letusan konflik agraria karena pembangunan yang pro-investasi (baca laporan Konsorsium Pembaharuan Agraria, deh), progesivitas apa yang diharapkan dengan kanal pengaduan semacam ini?  Â
Dengan kata lain, yang jadi pertanyaan begini.Â
Jika masalah yang dilaporkan melibatkan adanya kesalahan (kesengajaan dan pembiaran) dari instansi pemerintah dan/atau melibatkan perusahaan swasta, negara yang hadir lewat Lapor Mas Wapres itu buat apa? Apa urgensinya, apa faedahnya yang fundamental?
Sebab begini.Â
Pertama, seolah-olah saja kesalahan negara yang bikin hidup rakyatnya tambah menderita bertahun-tahun bukanlah bagian dari kekuasaan hari ini.Â
Seolah-olah sejarah dan kelakukan negara tak bisa dipisahkan dari kelindan kuasa bengis dan ambisi segelintir yang disebut elite. Termasuk jika aduan yang disampaikan berpangkal dari sengketa lahan yang melibatkan kepentingan pembangunan versus hak-hak individu atas lahan.Â
Negara kan memang (suka sekali menjadi) bagian dari masalah. Ini gak lucu blas!
Kedua, Negara (masih dengan N besar), seolah-olah mengangkangi dirinya sendiri.Â
Yang punya otoritas, mereka. Yang mengelola sumberdaya (manusia, biaya operasional, dan korupsi-korupsinya) juga mereka.Â
Yang memiliki seragam, juga mereka. Yang menegakkan sanksi, juga mereka. Apalagi yang menarik pajak, emang ada yang lain?
Mengapa bukan mereka ini yang dioptimalkan cara bekerjanya, sikap moralmya terhadap permasalahan publik? Mereka membuat kanal aduan baru lagi, di antara kanal-kanal yang sudah? Dagelan aja.
Ketiga, ketika Max Weber (21 April 1864 – 14 Juni 1920) menyusun teori tentang birokrasi sebagai konsekuensi dari perluasan jenis rasio instrumental, dia turut meramalkan "hukum sangkar besi" dari birokrasi.Â
Sekurang atau setidaknya, ini bermakna birokrasi memiliki potensi berkembang sebagai organisasi raksasa yang efektif, efisien, bisa dikontrol, namun kehilangan kemanusiaan. Birokrasi memang mesin, bukan?
Belakangan, di negara baru merdeka/Poskolonial/Dunia Ketiga/Underdevelopment, birokrasi semacam ini malah berkembang menjadi patrimonial: birokrasi yang merestorasi kepatuhan dan pengawetan warisan feodalisme. Dan, militeristik.Â
Birokasi patrimonial inilah yang menghidupi Orde Baru lalu diteorikan sebagai salah satu elemen regresif pembangunan. (Makanya) salah satu mandat Reformasi 1998 adalah membersihkan warisan ini, bukan model populisme baru berwujud kanal aduan.Â
Jadi, ini mau ngapain, Mas?
Keempat, di dusun-dusun yang jauuuh dari Istana Wakil Presiden yang beralamat di Jl. Medan Merdeka Selatan., RT.11/RW.2, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus
IbukotaJakarta 10110; dari daerah yang tak punya sinyal, yang hidup dalam kegelapan sepanjang tahun, yang tak memiliki cukup sanitasi dan air bersih, kanal semacam ini seperti orang yang terbahak-bahak di tengah upacara kematian dengan langit yang gerimis.Â
Mungkin dengan modalitas kuasa orang nomor dua yang didukung oleh koalisi politik gemuk, ada surplus otoritas untuk mendorong Pemerintah Daerah bergegas menanggapi keluhan-keluhan tersebut.Â
Yang jadi masalah, Kepala Daerah yang melayani dengan pendekatan karena ada keluhan dan ditegur Wakil Presiden, tidak akan mengubah banyak watak kekuasaan dan produksi elite lokal.Â
Ujungnya, Otonomi Daerah macam apa yang sejujurnya sedang beroperasi?Â
Maka, ketika tumbuh subur pesimisme yang melihat kanal Lapor Mas Wapres hanyalah "perahu kertas yang ingin menarik pulau besar", ya wajar saja. Ini semakna dengan yang mencurigai kanal semacam ini hanyalah gimmick belaka (baca CNN Indonesia), biar Mas Wapres terus mendapat spotlight effect. Â
Kelima, masih nyambung dengan politik gimmick atau pemolesan citra, tantangan Mas Wapres bukanlah kehilangan sorotan publik. Tantangannya adalah melampaui bayang-bayang Sang Bapak. Tidak mereplikasi saja sudah syukur.Â
Jika dahulu di Surakarta, dengan skala kota yang kecil (maaf saja, penduduknya berjumlah 587.646 jiwa, dengan luas wilayah 44 km persegi, dan 5 kecamatan beserta 54 kelurahan), Mas Wapres terlihat menonjol, sekarang tentu tidak begitu dong. Skala dan variasi masalah jauh lebih kompleks.Â
Belum lagi irisan kepentingan politik yang berkelindan membentuk benang kusutnya. Kepentingan politik yang bekerja sebagai "invisible hand" pengatur rezim hari ini.
Keenam, tantangan krusial Mas Gibran sesudah serangkaian manuver politik menjelang dan saat Pemilihan Presiden, media arus utama sudah kehilangan darling stock-nya buat segala yang berkaitan dengan Jokowi (dan keluarganya).Â
Belum lagi suara-suara dari akademisi, aktivis, dan Organisasi Masyarakat Sipil yang emosinya bergerak dari Cinta (Jokowi adalah Kita) menjadi Benci (Jokowi adalah Masalah). Maka, pertanyaannya, bagaimana kecenderungan kontra-produktif ini dibalikkan? Setidaknya, tegangannya dikembalikan ke titik nol.Â
Kanal aduan memiliki daya ubah dalam situasi begini? Yang benar aja.Â
Ketujuh, kanal aduan sudah pernah ada di Balai Kota Jakarta. Di zaman Ahok, ini mungkin terasa seperti terobosan bagi ruang semegapolitan Jakarta. Sikap Ahok yang tegas dan berani menambah bobot optimisme terhadap alur pelayanan publik. Â
Tapi, sekali lagi, dengan teritori se-mega diversity Indonesia, keberanian dan ketegasan itu bakal dikenang kalau berani mengevaluasi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang membangun sawah sejuta hektar di Merauke. Suara-suara protes Masyarakat Adat di sana sudah kencang sejak lama tapi aduan siapa yang bakal menghentikan ini?
Saya tentu tidak percaya, kanal Lapor Mas Wapres (sebatas) buat ngurusi keluhan tilang atau gas 3 kg yang langka di pasaran. Â
***
Negara kok mengadvokasi dirinya sendiri. Â Semoga selamat sampai akhir, Mas...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H