Negara kan memang (suka sekali menjadi) bagian dari masalah. Ini gak lucu blas!
Kedua, Negara (masih dengan N besar), seolah-olah mengangkangi dirinya sendiri.Â
Yang punya otoritas, mereka. Yang mengelola sumberdaya (manusia, biaya operasional, dan korupsi-korupsinya) juga mereka.Â
Yang memiliki seragam, juga mereka. Yang menegakkan sanksi, juga mereka. Apalagi yang menarik pajak, emang ada yang lain?
Mengapa bukan mereka ini yang dioptimalkan cara bekerjanya, sikap moralmya terhadap permasalahan publik? Mereka membuat kanal aduan baru lagi, di antara kanal-kanal yang sudah? Dagelan aja.
Ketiga, ketika Max Weber (21 April 1864 – 14 Juni 1920) menyusun teori tentang birokrasi sebagai konsekuensi dari perluasan jenis rasio instrumental, dia turut meramalkan "hukum sangkar besi" dari birokrasi.Â
Sekurang atau setidaknya, ini bermakna birokrasi memiliki potensi berkembang sebagai organisasi raksasa yang efektif, efisien, bisa dikontrol, namun kehilangan kemanusiaan. Birokrasi memang mesin, bukan?
Belakangan, di negara baru merdeka/Poskolonial/Dunia Ketiga/Underdevelopment, birokrasi semacam ini malah berkembang menjadi patrimonial: birokrasi yang merestorasi kepatuhan dan pengawetan warisan feodalisme. Dan, militeristik.Â
Birokasi patrimonial inilah yang menghidupi Orde Baru lalu diteorikan sebagai salah satu elemen regresif pembangunan. (Makanya) salah satu mandat Reformasi 1998 adalah membersihkan warisan ini, bukan model populisme baru berwujud kanal aduan.Â
Jadi, ini mau ngapain, Mas?
Keempat, di dusun-dusun yang jauuuh dari Istana Wakil Presiden yang beralamat di Jl. Medan Merdeka Selatan., RT.11/RW.2, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus
IbukotaJakarta 10110; dari daerah yang tak punya sinyal, yang hidup dalam kegelapan sepanjang tahun, yang tak memiliki cukup sanitasi dan air bersih, kanal semacam ini seperti orang yang terbahak-bahak di tengah upacara kematian dengan langit yang gerimis.