Dua pagi ini adalah sebentuk realisasi janji hati yang sederhana. Sejenis pembuktian komitmen yang tak muluk-muluk. Tidak pula ditujukan kepada sesuatu di luar diri sendiri.Â
Jadi, ia semacam kemenangan kecil.Â
Tentu saja, Surakarta atau Solo, jauh lebih besar dari rencana dan tindakan kecil di atas. Setidaknya dalam satu dekade terakhir negara paskareformasi, tempat ini adalah salah satu pusat kuasa penting, tak sebatas warisan budaya atau kulinernya.
Sebagai representasi kota dengan jejak kolonial yang panjang, Surakarta adalah titik penting dari pertumbuhan gerakan perlawanan modern sebuah bangsa yang kelak menjadi Indonesia Raya di tahun 1945.Â
Di sini, gerakan sosial melawan berbasis organisasi, massa dan jurnalisme tumbuh subur.Â
Kita bisa membaca ini dengan seksama dari riset sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi (saya membacanya lagi semalam sebelum tiba di Surakarta). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Surakarta di masa itu adalah sebuah sumbu yang menghimpun energi perlawanan sosial. Tatanan sosial-ekonominya dikondisikan oleh penderitaan jelata yang diakibatkan oleh kebijakan kolonial dan sisa feodalisme. Â
Apa kabar Surakarta hari ini? Surakarta memberi negeri ini seorang presiden, kemudian wakil presiden dari satu klan yang sama.Â
Dan di hari-hari terakhir presiden itu, ada kecemasan yang berusaha disamarkan (atau dibikin tampak semua akan baik-baik saja). Dia bukan lagi kesayangan, setidaknya di beberapa media arus utama.Â
Apakah ia tengah menjelma telur di ujung tanduk? Apakah dia bakalan kehilangan kendali atau sebaliknya adalah pertanyaan paling penting di masa seperti ini.
Mengalami Surakarta dalam dua pagi memang tidak dalam rangka membawa saya kepada jawaban.Â