Menjadi manusia adalah menatap segala yang datang dari depan, katamu. Dulu sekali. Kemudian aku percaya.
Sebab itu, aku merampungkan banyak persiapan. Semacam latihan agar selalu menatap kedepan, sebisa mungkin menembus cakrawala. Latihan, sebab hasil instan, hanya relevan demi hidup yang tak layak diperjuangkan, katamu lagi.
Ketika cakrawala tertutupi senja yang melenakan atau diselubungi kabut keragu-raguan, jangan pernah menunduk, apalagi menutup mata. Dan, jangan sekali-kali merencanakan berbalik arah.Â
Lagi pula, kita adalah sepasang dalam perjalanan ini. Mengapa bimbang?Â
Karena itulah, melewati hari-hari adalah juga kesempatan berbagi cara memandang ke depan dan pertukaran gairah yang tak pernah padam. Gairah itu, mendorong kita terus yakin bahwa kita berdua tak akan pernah batal menjadi manusia. Cara memandang, tentulah, membuat kita sebagai manusia yang tumbuh, dewasa.Â
Kedai kopi yang remang, gedung bioskop yang suram, museum yang kosong berdebu, perpustakaan dengan penjaga terkantuk-kantuk, hingga trotoar jalanan yang basah seusai gerimis adalah bagian-bagian dari lanskap kota yang menemani kita. Di tempat-tempat ini, kita menyadari jika setiap kenangan tidak dipelihara oleh kehadiran.Â
Kehadiran adalah bagian yang memiliki akhir, sebanyak apapun kita bersetia kepadanya. Makanya, katamu, kita tidak berjuang untuk akhir yang meremuk redam. Â
Pada bagian ini, aku sedikit kurang setuju. Tak ada kamu sehari saja, angan-anganku kosong, rencana-rencanaku tak memiliki arah. Agh.Â
Kita berjuang agar tidak dilupakan, katamu lagi. Bagaimana bisa menolak lupa tanpa merawat kehadiran?
Seiring waktu, nanti kamu paham. Dan, seperti kemarin, kamu masih seperti kepul aroma kopi di pagi hari. Selalu kuat menanam sensasi di pikiran.
***
Hari ini adalah hari ke 1825. Kita masih bersungguh-sungguh tak membiarkan keabsenan terjadi, apalagi dengan sengaja.
Tidak mudah tiba di tahap ini. Sebagaimana tidak pernah sederhana mengendalikan dan bersepakat tentang apa yang kita ingin dan tidak ingin. Kebanyakan ingin bisa membuat hal-hal tidak penting terlalu lekas masuk angin. Sama halnya dengan kebanyakan angan.
Kebanyakan angan membuat hal-hal penting bisa kehilangan pijakan. Tambahku, dan kamu masih saja terkejut kata-kata ini bisa meluncur tanpa menunggu penjelasan tambahan.  Â
Dalam banyak situasi, kita lebih bisa menerima adanya pertengkaran, ngambek-ngambekan, mogok bicara dan menatap jendela dengan kosong--tak ada drama. Makanya, kadang-kadang, kita seperti manekin di dalam distro. Lucu gak sih?Â
Sesudahnya, kita akan kembali kepada alasan-alasan yang membuat masing-masing tidak boleh berlarut dalam kebisuan. Jadi, semuanya selalu dibicarakan. Kata-kata, sejak awal, mewakili sudut pandang sehingga kata, kita, dan cerita menemukan kendalinya.
Tidak, ini bukan tentang sebuah batas yang sejak awal tak boleh kita terabas ketika pertengkaran memuncak, titik buntu di depan bibir.Â
Ini tentang bagaimana kita mengisi pengertian yang lebih baru atau berbeda dari yang bagi kebanyakan orang mungkin diterima sebagai batas (beserta idealisme yang terlanjur membentuk isinya).Â
Dengan begitu, kita adalah keakuan yang utuh di dalam kekitaan yang kukuh menghadap ke masa depan. Aku tumbuh bersamamu, katamu.Â
Begitulah sikap-sikap yang membuat lima tahun ini seperti kanvas besar polos. Ia selalu menanti diwarnai.Â
***
Tapi yang tidak kau katakan kepadaku--atau jangan-jangan sengaja tak pernah kau ceritakan maksud yang sejujurnya?--segala yang datang itu adalah ketidakpastian, bisa berupa kejutan juga. Atau guncangan. Dan kematian mendadak!
Di suatu pagi yang terang, kamu tergeletak begitu saja dengan hidung melelehkan darah kental. Semua orang sibuk mencari penjelasan. Tapi untuk apa semua itu? Tidak ada gunanya.Â
Kematian yang tenang sekalipun, tidak akan membuatku mengulangi hari kemarin.Â
Bukan karena untuk merayakannya--kau bakal mengutuk ilusi nostalgia yang seperti ini--tapi karena aku yang utuh hanya mungkin karena kamu yang satu--ah ini juga kata-kata yang kini terasa angkuh.Â
Terlalu remuk terhempas seperti ini, manakala semua dirampas kematian.
***
Di hari ke-2190 atau setahun sesudah kamu tiada, kekosongan itu tidak pernah berhenti menyala, kalau bukan sedang membakar segala. Tak cuma mengalami kehilangan angan, kemunduran ingin, aku bahkan hidup melayang-layang, tak ada pijakan.Â
Seperti seseorang yang mabuk namun harus berjaga sendiri saja, seolah-olah masih ada hal penting yang harus ia lindungi.Â
Malang sekali, bahkan menyelamatkan diri sendiri saja, aku setolol seekor tikus di depan perangkap berisi ikan asin. Tidak boleh lagi.Â
Aku harus memperbarui komitmen, tak ada kemungkinan lain yang bisa membuat masa depan tak semengerikan hari-hari sesudah yang pernah tumbuh mendadak mati.Â
*** Â
Aku bakal selalu berjalan sampai kapanpun, dengan mata yang lurus, wajah tengadah, melihat ke sekitar dengan biasa saja. Bedanya, aku hanya berjalan mundur menuju masa depan. Dan menggali lubang yang lebih dalam, dan dalam lagi.
Aku tengah berlatih menjadi undur-undur. Sampai jumpa di ziarah berikutnya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H