Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sepak Bola dan Emosi Bangsa Pascakolonial

11 September 2024   12:05 Diperbarui: 12 September 2024   11:42 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukanlah sepak bola itu sendiri yang (bisa) bikin emosi kita mendayu-dayu.

Selasa malam, sejatinya, kita melihat timnas yang ngeselin. Performa mereka, sebagai kolektivitas, tidak seimpresif saat memaksa hasil imbang dengan Arab Saudi yang dilatih oleh Roberto Mancini. 

Mancini bukan saja berhasil membuat Italia ke puncak penguasa Eropa. Mantan pemain Sampdoria juga pelatih Man City sebelum rezim Pep Guardiola ini adalah figur kunci dari transisi Italia kepada sepak bola menyerang. Meninggalkan pelan-pelan gaya catenaccio yang membosankan. 

Atau mungkin lebih tepatnya, pendekatan Roberto Mancini sukses memberi filosofi yang lebih segar kepada sepak bola Italia. Saat bersamaan, klub-klub Serie A adalah semenjana Eropa, tak pernah lagi memenangkan Liga Champion.

Tentu saja, Arab Saudi bukanlah Italia dalam segala hal. 

Dan, timnas kali ini pun sama statusnya. Mereka berbeda dalam banyak hal dengan yang sudah-sudah: anak-anak muda, kebanyakan di bermain di luar negeri, dan dilatih orang Korea Selatan.

Di Saudi, anak-anak muda beragam asal-usul ini bermain solid. 

Dalam bertahan, tak banyak celah yang bisa dieksploitasi. Sementara saat menyerang, mereka lebih taktis (penguasan bola cuma 30% dengan jumlah operan 313 kali) dan tak memainkan long passing yang lebih mirip sepak bola mati akal. 

Di GBK yang riuh dengan 80ribuan pemuja yang bangga, performa yang sama tak lagi mengada. 

Australia yang dikalahkan Bahrain (yang kelasnya sudah selevel timnas kita) tampil dominan. Indonesia terkurung dimana-mana, operan pendek taktisnya mati gaya. 

Yang masih sama, Jay Idzes, dkk tetap solid dalam bertahan. Disempurnakan refleks dan ketenangan Maarten Paes yang berkelas. Pendek kata Indonesia masih selamat dengan sepak bola yang bikin fansnya merapal doa selamat sepanjang dua babak.

Imbang. Indonesia kini punya poin 2 dan berada di peringkat tiga grup, di bawah Jepang dan Arab Saudi--bukan hasil yang buruk, tentu saja. Shin Tae Yong juga bilang, berada peringkat tiga grup adalah target yang lebih realistis, sekalipun berat.

Selain itu, justifikasi bahwa kita tak boleh kecewa dengan cara bermain timnas adalah perkara kesenjangan peringkat di FIFA. 

Kita--kamu, aku, beserta semua yang merinding ketika lagu Tanah Air dinyanyikan bareng-bareng--dengan 280 juta penduduk ini, berada di 133. Sedang Australia dengan 27 juta jiwa alias cuma setengahnya penduduk Jawa Barat di peringat 24 dunia. 

Jadi, memaksa imbang itu sudah hasil yang luar biasa. Kita tetap harus bangga dengan apa yang sudah ditampilkan.

Sesudah Sepak Bola Dua Babak. Dimulai sebagai kebiasaan baru, tapi rasa-rasanya lebih sebagai penghormatan. 

Para pemain dan staf kepelatihan berikut tim medis akan berdiri di lingkaran tengah lapangan. Lalu para fans menyalakan layar gadget, kemudian menyanyikan Tanah Air ciptaan Ibu Sud. 

Tak ada lagi suara yang lain, selain lantunan lirik berikut ini: 

Tanah Airku, tidak kulupakan,
Kan terkenang, selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh,
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau, kuhargai

Membaca barisan lirik di atas, kita tidak dihinggapi kesan yang sama, apalagi tunggal. Kesan kita ditentukan subyektivas masing-masing. Jadi, kedalaman atau keluasan maknanya begitu kaya sebagai sesama anak negeri.

Saya, misalnya. Merasa (dan semoga selalu) disadarkan bahwasanya tanah air adalah ihwal yang abadi dan setara bagi semua. Ia bukan saja ingatan akan atau cinta kepada sesuatu yang kuat. Ia bisa jadi adalah hidup itu sendiri, dengan segala ragam rasa. 

Ia berada di antara yang abstrak dan yang riil, pasang dan surut. Sebagai entitas yang bergerak di dalam sejarah sekaligus "melampauinya". 

Secara riil, ia memiliki wujud berupa teritorial yang luas sekali, berkepulauan juga kemajemukan suku bangsa tiada bandingnya. Dalam pada ini, secara abstrak, tanah air memiliki ingatan kolektif (imagined communities) dan bahasa pengantar yang tumbuh mengikuti sejarah dijajah dan melawan dengan sengit.  

Di dalam persilangan teritori dan narasi historis, kita tumbuh beranakpinak, merantau jauh, kawin mawin, hingga ke negeri-negeri di Utara. Kita tidak berdiam di dalam lokasi yang tertutup, sebaliknya, menciptakan globalisasi. 

Persis dalam ruang seperti ini: sejarah negeri jajahan, persilangan manusia Indonesia, dan dunia yang terbuka, kita menghormati keputusan Maarten Paes memilih Indonesia karena menghormati neneknya yang pernah hidup di Kediri, misalnya. 

Dengan kata lain, kita sedang membaca jenis nasionalisme yang berbeda. Emosi terdalam kita tentang tanah air diperkaya lagi. Dan, lihatlah, bagaimana sepak bola memfasilitasinya. Sepak bola menghantar kita pada ikatan kebersatuan yang lebih semarak lagi. 

Dalam spirit kebersatuan itu, Tanah Airku-nya Ibu Sud adalah api yang membuat siapapun kta (seharusnya) merinding. Kecuali kita memaknai bangsa ini dalam imajinasi ideologi dan proyeksi yang berbeda.


Lalu, lihatlah kehidupan di luar sepak bola. Maksud saya, pada hiruk pikuk politik. Mengapa politik?

Sebab politik paling sering mengeksploitasi apa yang disebut sebagai popular nationalism, yang di antaranya ditumbuhkan dan dirayakan oleh masyarakat sepak bola. 

Keramaian politik dari orang-orang yang berburu kuasa (saya tidak akan bilang "politik kita") hari-hari terakhir ini kembali ke titik riuhnya, sesudah Pileg dan Pilpres. 

Tapi ini bukan perayaan kita, ini hanya perayaan segelintir orang belaka. Maka, wajar saja jika sejak awal, George Aditjondro menyebutnya sebagai PILKADAL.

Yang disebut Pilkada sering kali merupakan panggung bagi restorasi orang kuat lokal, apa yang disebut sebagai menguatnya local bossism. Bukan tak ada ruang bagi alternatif politics, namun penyempitannya begitu kuat dan merata di mana-mana.

Kita juga tahu skala kerusakan yang sedang diproduksi lewat pilkada, misalnya dengan angka korupsi kepala daerah atau elite lokal. Tapi kita tidak bisa ke mana-mana walau bisa merasa tanah air, politik, dan kesejahteraan tidak selalu sejalan, bahkan ketika kita sudah merdeka.

Di saat yang sama juga, sebuah rezim sedang menuju senjakala. Rezim yang mengubah cinta menjadi benci pendukungnya. Sebagaimana perasaan Goenawan Mohamad hingga majalah Tempo. Dan yang sedang keras mengkritik adalah Mahfud MD. 

Saya tidak terlalu ambil peduli dengan argumen yang bilang, "Ah, masih lebih banyak yang menyukai Pak Jokowi dibanding mereka yang berdemonstrasi, termasuk para guru besar, artis, dll itu."

Atau berkata, "Pak Mahfud juga bagian dari rezim kok sebelum jadi Cawapres Ganjar. Mengapa baru berisik sekarang, karena kalah pilpres?"

Tak lagi penting. Saya hanya sedang menunggu arus ini akan ke mana muara ketegangannya. 

Rekonsolidasi macam apa yang akan terjadi? Siapa yang bakal diuntungkan dari semua arus yang merangkak ini? Toh, transisi demokrasi pascaordebaru sudah lama tidak dalam kendali warga; bukan milik populis. Jadi buat apalagi?

Saya cuma bersyukur saja sebagai bagian dari generasi bangsa paskakolonial. Kita masih punya sepak bola dan timnas serupa tamansari nasionalisme. Kalau kamu? 

Walaupun banyak pemilu kualami,
Tak ada yang bikin percaya

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun