Yang masih sama, Jay Idzes, dkk tetap solid dalam bertahan. Disempurnakan refleks dan ketenangan Maarten Paes yang berkelas. Pendek kata Indonesia masih selamat dengan sepak bola yang bikin fansnya merapal doa selamat sepanjang dua babak.
Imbang. Indonesia kini punya poin 2 dan berada di peringkat tiga grup, di bawah Jepang dan Arab Saudi--bukan hasil yang buruk, tentu saja. Shin Tae Yong juga bilang, berada peringkat tiga grup adalah target yang lebih realistis, sekalipun berat.
Selain itu, justifikasi bahwa kita tak boleh kecewa dengan cara bermain timnas adalah perkara kesenjangan peringkat di FIFA.Â
Kita--kamu, aku, beserta semua yang merinding ketika lagu Tanah Air dinyanyikan bareng-bareng--dengan 280 juta penduduk ini, berada di 133. Sedang Australia dengan 27 juta jiwa alias cuma setengahnya penduduk Jawa Barat di peringat 24 dunia.Â
Jadi, memaksa imbang itu sudah hasil yang luar biasa. Kita tetap harus bangga dengan apa yang sudah ditampilkan.
Sesudah Sepak Bola Dua Babak. Dimulai sebagai kebiasaan baru, tapi rasa-rasanya lebih sebagai penghormatan.Â
Para pemain dan staf kepelatihan berikut tim medis akan berdiri di lingkaran tengah lapangan. Lalu para fans menyalakan layar gadget, kemudian menyanyikan Tanah Air ciptaan Ibu Sud.Â
Tak ada lagi suara yang lain, selain lantunan lirik berikut ini:Â
Tanah Airku, tidak kulupakan,
Kan terkenang, selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh,
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau, kuhargai
Membaca barisan lirik di atas, kita tidak dihinggapi kesan yang sama, apalagi tunggal. Kesan kita ditentukan subyektivas masing-masing. Jadi, kedalaman atau keluasan maknanya begitu kaya sebagai sesama anak negeri.
Saya, misalnya. Merasa (dan semoga selalu) disadarkan bahwasanya tanah air adalah ihwal yang abadi dan setara bagi semua. Ia bukan saja ingatan akan atau cinta kepada sesuatu yang kuat. Ia bisa jadi adalah hidup itu sendiri, dengan segala ragam rasa.Â