Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Forgive (But Not) For You!

14 Agustus 2024   10:33 Diperbarui: 17 Agustus 2024   08:13 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kibrispdr.org

Memaafkan dan melupakan selalu memiliki dimensi sosialnya yang kompleks. 

Ia dibentuk dalam konteks hubungan sosial tertentu. Di dalamnya ada kedekatan (intimacy) individu, waktu yang membentuk, harapan (atau dari mana manusia mengalami kekecewaan), dan tentu saja, orang lain. Karena itu, bisa dimengerti bahwa memaafkan dan melupakan adalah perkara sosiologi, sekaligus perkara psikologi bahkan filsafat. 

Lantas, bagaimana pikiran sosiologi memahami memaafkan dan melupakan bekerja di antara individu, kelompok, atau masyarakat?

Saya memiliki satu kasus yang menarik (dari banyak sekali yang tidak ingin diingat-ingat) untuk ihwal yang satu ini. 

Alkisah, ada seorang kawan yang sehari-hari menjalani hidup dengan pikiran yang sederhana seperti pakaian yang sering dia gunakan, ambisi yang nyaris tak muluk, namun keterikatan yang masih kuat pada nilai-nilai (ideologi) kelompok. 

Ia memang pernah menjadi salah satu pengurus di organisasi mahasiswa yang mengabdikan diri pada perjuangan membela orang-orang miskin papa tanpa membedakan pilihan religiusitasnya. Garis keberpihakannya adalah kepada kaum mustadh'afin.

Di satu episode hidupnya, dia berhasil menyelesaikan masa menjadi mahasiswa itu dan diterima sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). 

Kemudian ditempatkan di sebuah Kabupaten. Menjadi orang berseragam dan memiliki rutinitas kantoran yang banyak dirindukan teman-teman seangkatan. Ia sejatinya yang beruntung sebab dunia aktivisme mahasiswa tak selalu compatible dengan pasar kerja.

Seiring waktu, ketika ia sedang menikmati rutinitas itu, datang bujukan untuk mengikuti sebuah seleksi. 

Seleksi ini berhubungan dengan aparat penyelenggara pemilu--sebuah ritual politik prosedural yang dulu ditentangnya habis-habisan ketika masih mahasiswa--yang kebetulan remote kendalinya sedang berada di orang-orang yang seorganisasi dengannya di masa lalu, dari Jakarta hingga daerah.

Tak banyak timbang-timbang, ia mengikuti. Lalu terpilih sebagai anggota Bawaslu di sebuah Kabupaten juga. 

Sejak saat itu, ia lebih sering terbang ke Jakarta untuk rapat, pelatihan, dan sebagainya. Ia memiliki kendaraan dinas juga supir. Dan ini yang tak kelihatan namun penting: memiliki prestise sosial, tiba-tiba saja ia seolah bagian dari elite lokal. 

Ia sudah bukan ASN yang ke kantor cukup dengan jalan kaki atau menumpang kawan. 

Ketika kepentingan adalah yang abadi dalam politik, apa yang masih tersisa dari perjuangan nilai-nilai?

Pada suatu ketika yang selanjutnya, 5 tahun masa jabatan itu berakhir. Melanjutkan atau kembali ke haluan? 

Kembali bermakna ia akan memulai dari bawah, tidak benar-benar nol. Tapi mereka yang seangkatan ASN mungkin sudah kemana-mana, memiliki posisi di hirarki yang berbeda. 

Sedang dirinya, sesudah 5 tahun ini? 

Sebab itu, melanjutkan ke periode kedua adalah opsi paling masuk akal di depan matanya. Masalahnya: kerangka dari pengaturan itu tak lagi seperti dulu. 5 tahun adalah waktu bagi mereka yang gagal kembali ke gelanggang, dengan ambisi dan sangat mungkin, logistik yang lebih besar. 

Termasuk di antara alumni organisasi mahasiswa ekstra kampus. Kerangka pengaturannya bergeser dan sudah dibagi menurut jatah masing-masing. 

Naas, kawan ini terlempar dari orbit utama. Tersingkir di ujung penentuan. Kecewa luar biasa, merasa seorang diri saja di tengah pertarungan yang mesti berhadap-hadapan dengan mereka yang segolongan dengan dirinya. 

Ia patah, remuk juga terluka. Tapi yang paling bikin sakit hati adalah "Saya dibilang selama menjabat tidak pernah peduli kepada urusan organisasi." Ia merasa difitnah.

Bukanlah kehilangan jabatan itu sendiri yang menjadi pangkal, rupanya. 

Sumber rasa sakit paling dalam dan paling nelangsa adalah seusai bertahun pengabdian, ia dihancurkan oleh persekutuan yang dulu menjadi sumber kebanggaan semasa mahasiswa. 

Dia marah, tapi kepada siapa? Dia ingin membalas, tapi karena apa? 

Semua atau mereka yang disangka menyakitinya adalah orang-orang dengan kepercayaan yang sama akan nilai-nilai sebagaimana dirinya. 

Ia abai mengenali satu perkara. Bahwa perburuan politik dan prestise turunannya selalu tega memangsa siapa saja, berlaku kepada golongan mana saja, bahkan untuk mereka dengan ideologi keberpihakan semacam dirinya. 

Dia datang kepada saya tapi tidak banyak yang saya lakukan; saya memang tidak ingin menolongnya. 

Forgive but not forget? tanya saya. Dia tertawa, perih rasanya. 

Frasa ini sudah terlalu lama dibicarakan dimana-mana, terutama di momen orang-orang sedang kecewa atau terluka.  

Orang-orang kecewa (karena harapan yang tinggi) namun menolak membalas seringkali berusaha mencari hikmah. Tiba-tiba saja mereka akan berfilsafat. 

Seolah-seolah Soren Kierkeegard yang kecewa terhadap dunia, manusia, lantas mencari otentisitas dirinya. Mereka ingin terlahir baru dengan kapasitas yang lebih luwes dalam menerima rasa sakit, memberi maaf dan melupakan.  

Tapi, mereka seringkali lupa, politik yang memangsa kawan sendiri hanya niscaya dimulai dari politik yang membunuh rasa tega sejak dalam niatan. 

Orang-orang ini terlihat baik-baik saja, namun memiliki skenario yang tiba-tiba bisa bengis. Orang-orang dengan banalitas yang sengaja dilatih. Memaafkan mereka hanya bakal terlihat seperti olok-olok yang culun.

Satu lagi yang menyadarkan saya dari kemalangan (naif) teman itu. Gejala pertumbuhan generasi post-mahasiswa dengan ambisi politik yang tak ambil peduli lagi pada nilai. 

Mereka memelihara alasan pembenar yang permisif: mengubah sistem harus dengan masuk kedalam sistem. 

Gejala ini sesungguhnya bukan baru terjadi belakangan ini. Mungkin saja sudah terjadi bersamaan struktur negara modern dideklarasi di negeri ini.

Bedanya, di masa lampau, generasi aktivis post-mahasiswa itu memasuki sistem dengan gagasan-gagasan besar yang mereka perjuangkan di hadapan tatanan kolonial. 

Di masa ketika gagasan-gagasan besar, termasuk ketabahan yang luhur musnah, dunia politik kehilangan "batas idealnya". 

Yang menjadi masalah bukanlah karena batas ideal politik itu runtuh. Masalahnya adalah percampuran atau kawin mawin orang kaya, artis, pensiunan militer, hingga mantan koruptor itu tumbuh bersamaan dengan tersentralisasinya oligarki atau dinasti. 

Persis dalam pergeseran plus persilangan historis inilah, penyelenggara pemilu itu dipilih. Dengan kata lain, serangkaian pemilu itu tidak lebih dari siklus reproduksi status quo belaka.

Karenanya, bagi saya, nasib teman saya yang dipencundangi justru adalah skenario keselamatan. Anggap saja ini cara semesta membuatnya tak menjadi bagian dari kultur orang-orang bengis. 

Hatinya terlalu tipis, seperti tubuhnya.

"Jadi, masih ingin peduli dengan organisasi?"

"Bangsatlah!"

Kita tidak pernah bicara lagi perihal rasa sakit, memaafkan dan melupakan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun