Orang-orang ini terlihat baik-baik saja, namun memiliki skenario yang tiba-tiba bisa bengis. Orang-orang dengan banalitas yang sengaja dilatih. Memaafkan mereka hanya bakal terlihat seperti olok-olok yang culun.
Satu lagi yang menyadarkan saya dari kemalangan (naif) teman itu. Gejala pertumbuhan generasi post-mahasiswa dengan ambisi politik yang tak ambil peduli lagi pada nilai.Â
Mereka memelihara alasan pembenar yang permisif: mengubah sistem harus dengan masuk kedalam sistem.Â
Gejala ini sesungguhnya bukan baru terjadi belakangan ini. Mungkin saja sudah terjadi bersamaan struktur negara modern dideklarasi di negeri ini.
Bedanya, di masa lampau, generasi aktivis post-mahasiswa itu memasuki sistem dengan gagasan-gagasan besar yang mereka perjuangkan di hadapan tatanan kolonial.Â
Di masa ketika gagasan-gagasan besar, termasuk ketabahan yang luhur musnah, dunia politik kehilangan "batas idealnya".Â
Yang menjadi masalah bukanlah karena batas ideal politik itu runtuh. Masalahnya adalah percampuran atau kawin mawin orang kaya, artis, pensiunan militer, hingga mantan koruptor itu tumbuh bersamaan dengan tersentralisasinya oligarki atau dinasti.Â
Persis dalam pergeseran plus persilangan historis inilah, penyelenggara pemilu itu dipilih. Dengan kata lain, serangkaian pemilu itu tidak lebih dari siklus reproduksi status quo belaka.
Karenanya, bagi saya, nasib teman saya yang dipencundangi justru adalah skenario keselamatan. Anggap saja ini cara semesta membuatnya tak menjadi bagian dari kultur orang-orang bengis.Â
Hatinya terlalu tipis, seperti tubuhnya.
"Jadi, masih ingin peduli dengan organisasi?"