Bukanlah kehilangan jabatan itu sendiri yang menjadi pangkal, rupanya.Â
Sumber rasa sakit paling dalam dan paling nelangsa adalah seusai bertahun pengabdian, ia dihancurkan oleh persekutuan yang dulu menjadi sumber kebanggaan semasa mahasiswa.Â
Dia marah, tapi kepada siapa? Dia ingin membalas, tapi karena apa?Â
Semua atau mereka yang disangka menyakitinya adalah orang-orang dengan kepercayaan yang sama akan nilai-nilai sebagaimana dirinya.Â
Ia abai mengenali satu perkara. Bahwa perburuan politik dan prestise turunannya selalu tega memangsa siapa saja, berlaku kepada golongan mana saja, bahkan untuk mereka dengan ideologi keberpihakan semacam dirinya.Â
Dia datang kepada saya tapi tidak banyak yang saya lakukan; saya memang tidak ingin menolongnya.Â
Forgive but not forget? tanya saya. Dia tertawa, perih rasanya.Â
Frasa ini sudah terlalu lama dibicarakan dimana-mana, terutama di momen orang-orang sedang kecewa atau terluka. Â
Orang-orang kecewa (karena harapan yang tinggi) namun menolak membalas seringkali berusaha mencari hikmah. Tiba-tiba saja mereka akan berfilsafat.Â
Seolah-seolah Soren Kierkeegard yang kecewa terhadap dunia, manusia, lantas mencari otentisitas dirinya. Mereka ingin terlahir baru dengan kapasitas yang lebih luwes dalam menerima rasa sakit, memberi maaf dan melupakan. Â
Tapi, mereka seringkali lupa, politik yang memangsa kawan sendiri hanya niscaya dimulai dari politik yang membunuh rasa tega sejak dalam niatan.Â