Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

"Joki Strava" hingga Pertanyaan yang Tidak Selesai

9 Juli 2024   10:54 Diperbarui: 9 Juli 2024   16:15 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Joki Strava | KOMPAS.com/Galuh Putri Riyanto

"btw aku buka joki strava yahh!! tapi yang lari sodaraku yang jago larii, price menyesuaikan pace, km dan dl yahh!! bisa dm akyuuu..,- @hahahiheho (sebagaimana diberitakan CNN Indonesia).
 

Begitu mengetahui ada tawaran "Joki Strava" untuk jiwa-jiwa yang berkebutuhan eksis berolahrga tapi tanpa merasakan tantangannya yang autentik, saya terpikir jika gejala ini hanyalah bentuk lanjutan dari apa yang sudah ada sebelumnya. 

Bentuk lanjutan itu bermakna jika tawaran seperti ini sama saja kondisi di masa awal pertumbuhan Twitter (kini X). 

Di Twitter dulu, misalnya, ada akun yang menawarkan jasa memperbanyak pengikut bersamaan. Jasa semacam ini bergandeng tangan dengan dengan kecenderungan produksi akun anonim; semacam peternakan pengikut (followers farm).

Tawaran ini, anehnya, memiliki ceruk pasarnya. Sebab itu, seharusnya bisa diperkirakan dari awal. Tapi, masalahnya tidak di sini, bukan? 

Masalah utamanya, rasa-rasanya, dari terbentuknya ceruk pasar yang berfungsi seolah lubang hitam (black hole) bagi jasa absurd di atas hanya dan hanya mungkin diakibatkan oleh psikologi massa yang dilahirkan oleh persilangan antara narsisus dan pemujaan kepalsuan di era sosial media.

Psikologi massa yang ajaib serupa ini memiliki daya hidup tambahan melalui teknologisasi yang mencampuradukan yang real dan yang non-real, sejenis hiperrealitas dalam bahasa kritikus Posmodern. 

Ujungnya, batas yang memisahkan sensasi dari esensi atau sebaliknya, akhirnya bakalan tunduk pada komodifikasi.

Kita bisa melihatnya pada konteks sederhana berikut. 

Bagi akun dengan pengikut bejibun yang real, status mereka naik level menjadi influencer. Jika di Instagram, maka ia menjadi selebgram: mereka yang mula-mula bukan pesohor industrial namun karena produksi konten berhasil menjaring pengikut gede. 

Pada level yang setingkat ini, eksis sebagai influencer atau selebgram, adalah kesempatan terbuka bagi komodifikasi. 

Kesempatan untuk meraup pundi-pundi rupiah, akumulasi jejaring, dan dalam ruang ini, terjadi penebalan serta perluasan pengaruh secara signifikan.

Tentu saja, influencer tidak melulu berurusan dengan yang mendatangkan imbalan material. Termasuk di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir, kelompok mengambang ini sukses berkembang sebagai perkakas politik. 

Di tangan politisi yang lihai (dalam ungkapan Friedrich Nietzsche: politisi adalah yang bisa membagi manusia kedalam dua golongan, musuh atau perkakas), mereka berfungsi produktif terhadap bujuk rayu dan citra melayani dari kekuasaan. 

Walau seringkali, dalam batas yang sering tidak diperdebatkan, menjadi alat yang menguatkan kapasitas hegemoni, influencer tidak berwajah tunggal.

Di sisi yang konservatif, influencer sangat bisa jadi adalah bagian yang dimainkan untuk menghidupkan narasi positif terhadap kinerja buruk penguasa dan karena itu menyamarkan gerak pertentangan yang makin kencang di level jelata akar rumput.

Sedang dari arah sebaliknya, influencer bisa terlibat mendorong gerak yang makin massif dari kontradiksi sosial tersebut dimana negara atau kekuasaan politik dan ekonomi menjadi public enemy-nya.

Pendek kata, sevirtual-virtualnya ikatan yang dibentuk di antara influencer dengan pengikutnya, daya hidupnya dimungkinkan oleh deposit pengaruh dan kepatuhan. Situasinya rada rumit dan tidak serta merta diperoleh.

Lah, bagi mereka dengan kebanggaan diri yang palsu alias semu serupa para pelari berjasa joki Strava, apa yang dikejar sebagai pengakuan diri dan digital?

Anda mungkin memiliki kepuasan tertentu, sekalipun aneh, dengan intelektualisme semu yang berakar pada praktik plagiasi karya. Sekurang-kurangnya dalam kejahatan ini, Anda masih melakukan "praktik mutilasi teks", memenggalnya dari orisinalitasnya dan membuatnya seolah-olah Anda adalah otaknya. 

Sama halnya konten-konten yang seronok dengan ambisi menjaring pengikut besar (subscriber, persisnya). 

Tidak ada nilai apapun di seluruh yang Anda visualisasikan, sampah, tapi tetap saja Anda mesti membuat skrip, memilih model, mendesain background, merekam, dan mengedit.

Ringkas kata, dua modus di atas masih membutuhkan kerja pikiran, menyaratkan "manipulasi yang direncanakan". 

Sementara dalam konteks joki lari Strava, bagaimana mungkin Anda tidak pernah sedetikpun berlari tapi memiliki keberanian diri pamer di sosial media?

Katakanlah, Anda memosting statistik pace: 4:16 dengan total jarak 5 kilometer pada suatu Morning Run, tanpa sedikitpun meresapi ngos-ngosan, keram betis, atau mendadak ingin BAB di tengah jalan. 

Anda juga tidak menimbulkan korban (seperti aksi plagiasi) kecuali memelihara diri dengan kepalsuan terus menerus--itu artinya saya juga tidak usah bertanya yang aneh-aneh?; Anda tidak sedang menjaring subscriber demi monetisasi. 

Jadi motivasi apa yang menggerakkan jiwa-jiwa membayar jasa joki ini?

Rekam Statistik Morning Run S Aji yang pace-nya konsisten ngos-ngosan di menit 7:26 | Sumber: Strava
Rekam Statistik Morning Run S Aji yang pace-nya konsisten ngos-ngosan di menit 7:26 | Sumber: Strava

Postskrip. Selain menjadi ruang bagi perkawinan tak ada habis antara narsisus dan kepalsuan diri, sosial media adalah ruang yang bercampursari banyak kegilaan, selain kejahatan dan penipuan. Di sisi yang lain, tumbuh juga kepedulian dan aksi spontan bagi kemanusiaan.

Ruang digital atau cyberspace adalah entitas yang anarkis, tak ada pusat moral yang berkuasa melakukan aktivitas pengawasan dan sensorik terus menerus dan lantas menang karenanya. 

Dalam pada itu, hadirnya modus Joki Strava adalah bagian lanjutan pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya. Saya mentok pada pertanyaan: kenikmatan macam apa yang diperoleh dari tipu diri semacam ini?!

Pasalnya, mengalami berlari bagi pelari sepi seperti saya dan banyak orang lainnya adalah sejenis pengalaman diri yang autentik. Autentisitasnya ditentukan dari kesetiaan untuk tidak berhenti ketika berlari sudah dimulai. 

Tidak terlalu penting pace yang Anda rekam adalah golongan pace keong yang tertatih-tatih tapi menolak berhenti di tengah jalan. Tidak penting andai sejarah berlari yang Anda pelihara sejak tahun 2017 hingga saat ini tidak membawa tubuh ke World Marathon Majors. 

Berlari tidak membuat Anda berkompetisi dengan orang lain, apalagi memburu pengakuan darinya. 

Sebab bagi pelari sepi, berlari adalah ujian tubuh, bukan karena demi memenangkan kehendak mental, tapi lebih karena menyadari bahwa yang disebut batas dari konsistensi adalah serangkaian proses terus menerus yang dengan setia dijalani seorang diri.

Apa yang disebut berhenti sejatinya adalah yang selalu akan dimulai lagi. Besok atau besoknya lagi.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun