Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"13 Bom di Jakarta" dan Daya Tarik Persilangan Identitasnya

16 Juni 2024   10:16 Diperbarui: 19 Juni 2024   10:12 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film 13 Bom di Jakarta | Visinema Pictures via Kompas.com

Pada 28 Desember 2023, 13 Bom di Jakarta tayang di bioskop tanah air. 

Sesudah tayang perdana itu, film ini meraih penghargaan di Ho Chi Minh City International Film Festival untuk kategori Best Sound Design dan Best Editing (Kompas.com). 

Memasuki tahun 2024, film yang dibintangi Rio Dewanto ini, mulai merambah penonton internasional. 

Sempat pula diputar pada ajang Far East Film Festival, di Udine Italia. Sebelum di Udine, film ini juga diputar pada ajang International Film Festival di Rotterdam, Belanda dan Osaka Asian Film Festival, Jepang. Dengan daftar ini, kita seketika sadar bahwa "13 Bom di Jakarta" memiliki kualitas tertentu yang patut dibicarakan. 

Kita bisa memulai membicarakan kualitas tersebut dari hulunya, yakni dari peristiwa yang menginspirasinya.

Angga Sasongko, sang sutradara bilang bahwa film ini diinspirasi oleh teror bom Tangerang di tahun 2015. Dalam teror tersebut, tersangka yang bernama Leopard Wisnu Kumara meminta tebusan berupa 100 Bitcoin ke pihak Mall Alam Sutera. 

Dari penyidikan polisi, sepanjang Juli hingga Oktober 2015, ia telah meletakkan 4 bom di Mall Alam Sutera.

Aksi Leopard Wisnu Kumara tergolong sebagai Lone Wolf atau leaderless, aksi teror yang dikerjakan seorang diri. Ia tak memiliki mentor, jaringan support atau ideologi yang tersentralisir. 

Hal mengejutkan lainnya, Leopard yang disebut ahli IT ini meminta tebusan dalam bentuk Bitcoin, dengan asumsi transaksinya bakalan sulit dilacak. Motivasi ekonominya begitu kuat. 

Modus operasi seperti ini adalah jenis teror yang baru. Berbeda dengan jenis teror yang biasanya terhubung dengan aksi global jaringan jihadis dengan eskatologisme yang "keras". Yang terakhir ini menghendaki tatanan dunia yan eksisting ambruk berantakan.

13 Bom di Jakarta, apa yang menarik dibicarakan? 

Dengan durasi 143 menit, film ini sempat membingungkan di awal. Khususnya pada kaitan antara aksi pengepungan kelompok teror terhadap kendaraan yang mengangkut uang tunai dengan keberadaan sebuah grup anak muda yang mengembangkan perusahaan start-up. 

Adegan pengepungan itu tidak dalam rangka perampokan uang mengumpulkan logistik. Sebaliknya, ini seperti perayaan bagi kelahiran kelompok baru dimana ia tak mewakili definisi usang dari teror. Di sisi seberangnya, keberadaan kelompok anak-anak muda, start-up dan Bitcoin seperti sebuah tahap dalam kenyataan. 

Berikutnya, adalah Unit Kontra-Terorisme milik negara yang sudah bekerja selayakmya unit sejenis di masa digital. Sangat bergantung pada model pengawasan (surveillance) yang terkomputerisasi, analisis citra video dan penggunaan satelit yang ekstensif. 

Tiga komponen yang muncul di awal memberi penonton frame tentang sebuah era baru yang bakalan lahir sekaligus krisis bagi era yang usang. 

Lantas, bagaimana ketegangan dan konflik diselesaikan di antara setiap elemen naratif itu?

Pada dasarnya, 13 Bom di Jakarta adalah sejenis teror yang dipilih berakhir gagal. Adegan baku tembak di dalam bangunan tua, ledakan bom dan mobil, duel tanpa senja api, adalah keseruan yang cukup berkesan. 

Namun, bagian yang paling menyita rasanya bukan di aksi baku tembak dan duel itu. 

Bagian yang paling menyita itu adalah ketika kelompok teror yang dipimpin oleh Arok/Ismail Gani (Rio Dewanto) menampilkan identitas yang mewakili dua persilangan identitas, paling kurang dalam hemat saya. Persilangan yang sekaligus juga memadukan dua ikon, dari karakter nyata dan karakter fiktif.

Identitas atau ikon pertama adalah atribut yang diambil dari karakter hidup seorang Subcomandante Marcos. 

Sosok ini adalah yang memimpin Zapatista National Liberation Army (EZLN) di Meksiko. EZLN berjuang untuk melindungi hak-hak masyarakat adat (indigenous people) Meksiko. Di tahun 1994, EZLN menghebohkan dunia dengan pemberontakan di Chiapas.

Subcomandante Marcos, yang menyembunyikan identitasnya di balik topeng hitam, topi berlidah pendek, dan cangklong (pipe) belakangan diketahui bernama Rafael Guilln Vicente. Dia seorang terdidik dan profesor yang memilih mengabdi pada perjuangan hak-hak masyarakat adat.

Arok ditampilkan dalam tampang yang menyerupai. Bedanya, yang memimpin teror 13 bom ini berlatar belakang seorang pasukan khusus dan dendam kesumat. Istrinya yang bunuh diri karena korupsi orang kaya yang mengorbankan anak buahnya.

Sebab itu, Arok yang fiktif ini tidak mewakili ideologi yang lebih besar dari dirinya. Satu-satunya atau elan vital revolusionernya adalah patah hati dan kemarahan absolut terhadap sistem yang memungkinkan orang kaya selalu bisa menumbalkan orang miskin.

Sosok Arok yang seolah-olah Subcomandante Marcos versi Indonesia | Visinema Pictures via Islami.co
Sosok Arok yang seolah-olah Subcomandante Marcos versi Indonesia | Visinema Pictures via Islami.co
Identitas atau ikon kedua adalah relasi Arok dan kelompoknya. Mereka tampil selayaknya kelompok terlatih dengan loyalitas tanpa tanding, bukan saja kepada Arok namun yang lebih fundamental lagi adalah kepada ideologi kehancuran tatanan.

Ini adalah tipe kelompok yang tak menerima kemungkinan lain di luar keyakinan mereka sendiri--ciri ekslusif ada pada semua tipe kelompok teror. Lantas, apa yang membuat Arok, dkk ini menarik?

Mereka terlihat serupa peniruan lokal dari eksistensi kelompok Bane dalam film The Dark Knight Rises (2012). 

Bane memimpin kelompok yang loyalitasnya tanpa sanggah, mereka terlatih, bergerak di bawah kota, dan berpusat pada komando Bane. Mereka --kelompok Arok dan Bane--adalah akumulasi dari kesalahan kekuasaan dan hukum, semacam Homo Sacer dalam bentuk modern.

Bedanya, Bane lebih kuat dalam penggunaan metode yang memungkin anarkismenya terlihat masuk akal, sebelum dihentikan Batman yang kembali dari sumur neraka. Sementara Arok yang lebih Indonesia, terlihat masih gagap dan kasar menerjemahkan ideologi pemberontakannya. 

Jika Bane akhirnya modar karena arus balik perlawanan polisi Kota Gotham, bersama Batman dan Cat Woman yang didukung teknologi perang mutahir, Arok tidak sampai ke titik yang sama. Arok, dkk bubar oleh serangan balik polisi dengan teknologi tempur yang merupakan warisan Perang Dunia II. 

Walau begitu, 13 Bom di Jakarta adalah eksperimen laga yang menarik untuk diskursus film di Indonesia. Arok adalah sebuah usaha yang cukup baik.

Paling tidak, ia menghindarkan penonton dari penafsiran teror yang berakar dalam ajaran atau doktrin agama. Ia mengingatkan kembali pada sisi paling subtil dari jalan teror: ketika manusia berkali-kali dihantam oleh sistem yang antimanusia.

Dalam konteks ini, negara bisa jadi adalah aktor teror yang tak tersentuh. Eksistensinya (selalu) berlindung pada jubah regulasi, birokrasi, atau normativitas yang seolah taken for granted. Ia adalah monster yang bisa memangsa siapa saja tanpa pernah bisa dihukum. 

Sementara yang seperti Arok atau Bane menjadi penting justru karena kemarahannya menjelaskan sebuah potensionalitas. Dengan caranya, ia memberi catatan terhadap daya rusak sebuah rezim politik, ekonomi dan hukum. 

Begitulah rasa=rasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun