Thiago Motta sedang ramai diberitakan. Musim depan, ia akan melatih Juventus dengan bayaran yang disebut tiga kali lipat lebih besar dari yang bisa diberikan Bologna.Â
Juventus akhirnya berani menyatakan talak kepada Massimiliano Allegri. Keputusan yang mengakhiri penantian menyiksa bagi fans Juventus.Â
Pelatih yang satu ini memang sarat gelar namun sepakbolanya yang membosankan membuat La Vecchia Signora seolah mesin dari Abad-18 yang kaku, monoton. Tak cukup tersedia kreativitas, improvisasi apalagi keindahan.
Mengapa Thiago Motta?
Thiago Motta barangkali adalah nama yang paling dibicarakan di Serie A musim ini. Pelatih yang masih berumur 41 tahun berhasil membawa Bologna masuk ke zona The Big Four--zona tradisional yang bertahun-tahun dikuasai Juventus, Milan, dan Inter Milan.
Thiago Motta sebenarnya baru sebentar saja di Bologna. Ia dikontrak September 2022. Tapi kinerjanya yang singkat berhasil menjadikan klub yang pernah dibela nama tenar seperti Giuseppe Signori menjadi tajuk utama pemberitaan.Â
Motta bahkan disebut "one of the brightest prospects in football" (salah satu prospek paling cemerlang dalam sepakbola).
Di musim 2023/2024, racikannya membuat Bologna dengan skuad seadanya sukses memainkan sepakbola berkarakter penguasaan bola (possession-based style).
Karakter ini dimainkan melalui proses build-up dimana penjaga gawang dan keempat pemain belakang memiliki peran sentral. Terutama dengan memainkan operan-operan pendek.
Beberapa ulasan atau pemberitaan menyebut jika suami dari Francisca Motta ini memainkan formasi aneh "2-7-2".Â
Formasi ini akan lebih baik tidak dimengerti sebagai memasang dua bek, 5 gelandang dengan 2 sayap serta dua penyerang, jika dibaca dari belakang ke depan. Namun formasi ini semestinya dibaca dari sisi kanan ke kiri dan akan terlihat sebagai 4-1-4-1 atau 4-3-3.
Jika kita melihat bagaimana Bologna bermain, maka akan terlihat pergerakan yang dinamis antar lini, sebuah mekanisme kerja yang mengalir-cair (fluid), disamping operan pendek yang dinamis.Â
Dengan karakter gameplan yang semacam ini, Who Scored mencatat Bologna adalah tim kedua yang memainkan possession hingga 56,1% di Serie A, di bawah Napoli. Adapun akurasi operan mereka mencapai 86,4%. Mereka hanya jarang menciptakan sepakan ke gawang.
Ciri kedua adalah counter-pressingnya yang cukup dominan sebagai karakter utama. Situs analisis taktik sepakbola seperti The Coaches Voices menyebut jika kombinasi duel, tekel, dan intersepsi Bologna, per menit penguasaan bola lawan, merupakan yang tertinggi di Serie A musim 2022/23.
Ciri ini bisa kita saksikan saat Bologna ditahan imbang Juventus. Misalnya pada peluang pertama yang gagal dan pada proses terjadinya gol ketiga Calafiori, seorang bek yang bergerak dari belakang. Semua menandakan counter-pressing yang efektif.
Untuk kedua ciri ini, Motta dikatakan terpengaruh oleh ide Marcelo Bielsa dan Joachim Loew. Mengutip Footbal Coin yang mengatakan:Â
..Dari Bielsa, Motta belajar arti penting kepercayaan kolektif dan gagasan bahwa setiap pemain memiliki peran dalam serangan tim. Manajemen pemain Motta mendapat banyak pujian. Dari Loew, Motta mengambil konsep counter-press, yang melibatkan memenangkan kembali bola secepat mungkin setelah kehilangan...
Walhasil, Motta berhasil mendongkrak status Bologna di posisi klasmen. Klub yang berdiri sejak 1909 ini berada di urutan keempat dengan jumlah poin, jumlah kemenangan, imbang, dan kekalahan yang sama dengan Juventus.
Maka, menjadi terang mengapa Thiago Motta yang dipilih. Ia mengubah sejarah liliput di antara raksasa.
Sosok ini jelas diharapkan boleh merevolusi gaya Juventus yang defensif, monoton dan pragmatis; setidaknya sejak kepulangan Allegri di dua musim terakhir. Semusim yang bisa mengubah Bologna mengisyaratkan adanya kapasitas revolusioner tersebut, khususnya dalam mengembangkan kombinasi sepakbola menyerang dan kemampuan bertahan yang efektif.
Di samping itu, kemampuan mengorbitkan bakat-bakat muda juga ada pada Thiago Motta. Saat bersamaan, Juventus dari warisan Allegri sedang berada dalam jalur optimalisasi bakat muda produk akademi.Â
Last but not least, jangan dilupakan, orang ini adalah sosok yang pernah merasakan gelar juara selama menjadi pemain. Ia sudah bermain untuk Barcelona, Inter Milan, dan PSG. Ia memiliki mentalitas seorang pemenang.
Juventus, Tradisi Tua dan Status Raksasa Italia.
Di antara segelintar saja analisis atas pencapaian Thiago Motta, yang dari situ kita bisa melihat sebuah proyek sedang dirancang manajemen Juventus paska-skandal laporan keuangan, ada satu perkara yang penting untuk diperhatikan pula.
Perkara yang tidak berkaitan dengan ilmu sepakbola namun sesuatu yang bersifat makro dan merupakan kekuatan yang aktif dalam membentuk sejarah sebuah klub.Â
Kekuatan tersebut adalah Tradisi dan Dominasi.Â
Dalam kerangka itulah, di usia yang melampaui satu abad, keberadaan Juventus atau kebanyakan klub-klub tua di Eropa tidak cukup dimaknai sebagai sepakbola dan bisnis olahraga.
Lebih dari itu, sejarah sebuah klub bisa jadi mewakili sejarah pertentangan kelas, seperti yang berkembang di Britania Raya. Ia bisa saja mewakili sejarah dari migrasi pekerja dan pelajar (orang-orang Eropa sendiri), seperti banyak latar yang membentuk sejarah klub-klub sepakbola di Italia.Â
Sejarah yang lain juga bisa mewakili perseteruan bisnis di dalam satu kota yang mencintai sepakbola. Hingga akhirnya ia bisa bertahan karena kekayaan atau sebaliknya, hanya menjadi klub kecil yang dijaga seperti melestarikan sebuah situs budaya dari zaman antik.
Sebab itu pula, dalam kurun yang panjang tersebut, klub-klub tersebut tumbuh, berkembang dan bermetamorfosis menjadi identitas sebuah kota. Sebagai tradisi sekaligus dominasi dalam skala nasional bahkan mondial.
Pada fase yang kedua ini, sebuah klub sepakbola berkembang sebagai kebanggaan, simpul yang menyatukan lapisan sosial, hingga sumber bagi kontestasi dan ketegangan urban (misalnya antara AS Roma dan Lazio).Â
Dengan kata lain, di antara warisan arsitektur zaman kerajaan hingga ekspansi lengkung kuning McDonald, klub-klub ini turut membentuk kehormatan, tak sebatas daya tarik sebuah kota.
Sayangnya, di banyak kasus, umur boleh tua tapi nasib tidak selalu dalam genggaman.Â
Tidak banyak dari klub-klub yang berusia panjang ini bertahan di persaingan puncak atau berhasil menjadi penguasa domestik. Di Italia, misalnya. Hanya ada Juventus (1897), AC Milan (1899) dan Inter Milan (1908) jika kita bicara perolehan juara Serie A.
Sedang di Liga Inggris, hanya ada Manchester United (1878) dan Liverpool (1892) yang dominan. Yang setua mereka, seperti Nottingham Forest (1865) atau Wolverhampton (1877) lebih banyak berjuang sebagai petarung lolos degradasi.
Dengan latar sejarah dan kebanggaan yang bermacam-macam itu, seorang pelatih tidak cukup sekadar memikirkan dan mengembangkan taktik atau gameplan. Seorang pelatih adalah juga juru tafsir yang terus menerus menyuntikan makna dari sejarah, gelar hingga jersey yang digunakan.
Di persilangan inilah, saya kira, membicarakan transisi kepelatihan di sebuah klub menjadi menarik.
Kita tahu persis tidak semua transisi itu berjalan mulus. Manchester United adalah salah satu contoh mutakhir yang representatif. Sejak era Sir Alex Ferguson beristirahat, tim ini masih belum menemukan cara untuk kembali juara; kembali terhormat.
Situasi sebaliknya terjadi pada nasib Real Madrid di La Liga.Â
Walau gonta-ganti pelatih dalam rentang yang pendek, klub yang berdiri sejak 1902 ini tetap saja berhasil menjaga status dominasinya, tak terkecuali di level Eropa. Dengan kekayaan dan ambisinya, klub ini selalu bisa berada di kandidat pertama pemburu titel juara.Â
Sementara itu Juventus di Italia sebagai pemegang titel juara domestik terbanyak jelas mengalami pasang surut dalam dominasi domestik. Statusnya berganti kuasa dengan Milan atau Inter, sesekali Napoli, Roma atau Lazio dalam tiga dasawarsa terakhir.
Karena itu, dalam lintasan narasi yang makro-historis ini, dipilihnya Thiago Motta adalah sebuah transisi penting sejarah Juventus. Sekurang-kurangnya dalam tiga aspek.Â
Pertama, mengembalikan status dominasi dan tradisi juara domestik Juventus. Tidak ada yang mengecualikan harapan ini, terutama sesudah periode Conte dan Allegri.Â
Kedua, sebagai sebuah pergeseran filosofi sepakbola yang sebelumnya sempat diuji oleh Maurizio Sarri dan Andrea Pirlo namun tak berlangsung lama. Kegagalan ujicoba dan opsi kembali pada konservatisme--dengan memulangkan lagi Allegri-- itu terjadi sebelum kedatangan Cristiano Giuntoli. Direktur Olahraga dan otak di balik sukses Napoli di musim 2022/2023.
Ketiga, tentu saja, transisi ini penting sebagai momentum mengorbitkan pelatih muda dengan kultur Italia yang berakar kuat.Â
Di titik ini, Thiago Motta jelas bukan satu-satunya. Kita tahu ada Simone Inzaghi atau Roberto De Zerbi yang model sepakbola atraktifnya diincar klub-klub besar Eropa.Â
Ini sekaligus mewakili pertumbuhan angkatan baru di Italia, sesudah era Marcello Lippi, Fabio Capello, Carlo Ancelotti, sekadar menyebut beberapa nama top dari Serie A.
Dalam konfigurasi transisi yang semacam inilah, kedatangan Thiago Motta bukan sembarang perpindahan.Â
Sekurangnya di kepala saya sekaligus menjadi alasan kuat mengapa menyaksikan perubahan Juventus di musim depan adalah sebuah episode yang menarik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H