Di satu titik kritis, perempuan ini yang dipaksa mengambil posisi sentral sebagai penegak hukuman (dan pembalasan dendam) ketika perpecahan internal kelompok mafia mengancam keberadaan keluarganya. Ia keluar dari batas-batas domestik yang selama ini dilakoni.
Ringkas kata, Gadis Kretek yang sudah terbukti sukses sebagai serial, perempuan merupakan subyek yang melawan tatanan feodal sekaligus korban dari perubahan zaman. Sedang di Ratu Adil (yang masih dalam masa uji sukses), perempuan dipusatkan sebagai subyek yang menjaga nasib keluarganya di tengah pertikaian aliansi yang pecah.
Kedua kisah itu menegaskan jika perempuan, tatanan yang krisis dan perlawanan adalah elemen konfliktual yang saling membentuk.Â
Ini bermakna perempuan tidak pernah luluh sebagai obyek dari desain melewati krisis, sebaliknya mereka memiliki siasat sendiri--tidak terlalu penting jika pada akhirnya mereka akan menjadi korban dari kekacaaun situasinya.
Di negeri-negeri seperti Amerika Latin (kita bisa menikmati tontonanya di layar Netflix), ide cerita semacam ini mungkin sudah bukan tema yang menarik.Â
Namun, perempuan dengan citra Ratu Adil dan mulai marak dalam produksi serial di platform digital (di Vidio misalnya, kita bisa menikmati perempuan seperti ini dalam Merajut Dendam dan Skandal) sungguh dibutuhkan Indonesia.Â
Sekurangnya, perkembangan serial bergenre begini memiliki fungsi sparing-partner terhadap gurita sinetron dengan asmara perempuan, patah hati dan dendam, serta perebutan kekayaan yang mendayu-dayu.Â
Dalam sinetron, entah mengapa perempuan terlalu sering dikulturisasi sebagai ketimuran yang patuh dan elok, yang sejatinya mengada-ada itu. Dan ketika ia berubah sadis, ia menjadi sosok yang lebih pantas diolok-olok ketimbang disegani. Kemarahannya terlalu culun.
Ratu Adil di Vidio mengeluarkan kita dari imajinasi terkutuk semacam itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H