Mengapa dengan Kelas Menengah? Pada 10 Mei 2020, ada peristiwa dari Jakarta yang disindir sebagai wujud ekspresi kelas menengah yang ngehek.Â
Saat itu, gerai pertama restoran cepat saji (fast food) McDonald yang berada di Sarinah Thamrin akan tutup sesudah beroperasi sejak 14 Februari 1991. Penutupan gerai pertama makanan cepat saji di Indonesia berkembang menjadi "kerumuman kesedihan".Â
Kesedihan yang dirayakan dari mereka yang bertahun-tahun menyimpan kenangan di gerai tersebut. CNN Indonesia (08/08/2020), satu yang cukup dramatis dalam konteks ini. Situs berita ini bilang:
Setelah 30 tahun berdiri di Indonesia, tak dimungkiri restoran ini menjadi bagian hidup dari banyak orang. Ada kenangan yang tertinggal di tiap sudut restoran 24 jam ini.Â
Bukan cuma soal ayamnya yang renyah dan burger yang gurih serta paket sarapannya yang enak, tapi ada yang jadi cerita hidup, tempat keluh kesah, juga kongko bersama sahabat atau bahkan kekasih saat keuangan mencekik di malam minggu.
Di hari ketika penutupan dilakukan, Kompas.com (11/05/202) menceritakan, mereka berdatangan dengan para orang tua hingga anak-anak untuk sekadar mengenang kembali memori masa indah saat kecil makan di rumah makan cepat saji itu. Antrean pun mengular sampai keluar restoran.
Saat itu pandemi Covid-19 dan Jakarta sedang dalam Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB).Â
Pada saat kebanyakan jelata pekerja jungkir balik menyelamatkan batas subsistensi harian, mengalami pembatasan mobilisasi hingga pemecatan tiba-tiba, kelas menengah-atas seolah tak tersentuh semua kemalangan itu. Bahkan bisa bersikap bodoh amat! seperti di momen penutupan gerai McDonald Sarinah.
Kelas Menengah dan Variasinya. World Bank (dalam Aspiring Indonesia--Expanding the Middle Class: 2019) mengatakan Kelas Menengah adalah mereka yang menikmati keamanan ekonomi (economic security).Â