Segala macam kayu ditebang, bukan saja yang diijinkan. Sebab ini juga, yang legal dan ilegal bercampur sedemikian liarnya.
Di masa ini, kebanyakan desa-desa di DAS Katingan tidak pernah sesepi sekarang. Selain orang yang banyak dari bermacam latar, aktivitas hilir mudik membawa kayu keluar masuk hutan adalah pemandangan harian. Ditambah keramaian lalu lintas perahu dan speedboat di sungai. Tampelas tak terkecuali.Â
Ada bos-bos kayu yang menyewa rumah-rumah warga di Tampelas dimana pekerja tinggal di sini. Ada banyak juga warga desa yang terlibat dalam penebangan kayu. Pendek cerita, uang tunai begitu mudah didapat walau resikonya juga tinggi.Â
Dengan uang tunai yang mengalir dari hutan-hutan yang tumbang, kesenangan dan kenikmatan turut mengalir ke desa.Â
Sebagai misal di Desa Tumbang Bulan, tetangga Tampelas yang berada agak jauh di bagian hilir. Seorang kawan yang bermukim di sini berkisah jika desanya pernah dijuluki sebagai Texas-nya Mendawai.Â
Mengapa Texas? Karena uang dari penebangan kayu membuatnya berkembang sebagai pusat hiburan kecil yang nyaris tak pernah tidur. "Siang dan malam nyaris tak bisa dibedakan, sama ramainya." Kenang kawan itu.
Berbeda lagi dengan Desa Galinggang, yang bertetangga wilayah dengan Tampelas. Desa yang memiliki 10 Rukun Tetangga ini pernah mendatangkan artis ibukota seperti Doyok sekadar berdangdut di sini.Â
Zaman itu, saking banyaknya, uang sering menjadi alat taruhan pada saat kompetisi sepakbola antar desa di musim perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Belum lagi untuk kesenangan yang berkaitan dengan hiburan malam.
Akan tetapi, Desa-desa tersebut tak memiliki listrik yang cukup, tak ada fasilitas air bersih layak, dan tak ada fasilitas komunikasi yang pantas.Â
Lantas, ketika negara hadir untuk memberantas penebangan liar (illegal logging) di tahun 2011, hidup sehari-hari warga lokal seperti terbebas dari ilusi keberlimpahan materi.Â
Orang-orang seolah dilempar kembali kepada kemiskinan dan keterbatasan daya dukung penghidupan.Â