Di Perkebunan Teh. Cianjur Selatan.
Saya masih ingin tertidur sedikit lebih lama dari biasa. Hawa dingin dan penginapan sederhana yang sepi membuat keinginan semacam ini tumbuh semakin besar.Â
Apalagi baru saja menyelesaikan perjalanan yang melelahkan dari Tangerang, kemudian melintasi kawasan puncak yang padat merayap sebelum tiba di sini.
Akan tetapi, sebuah tempat baru selalu memicu rasa ingin tahu. Selalu mengandung misteri.Â
Apa yang menjadi ciri ekologi utama di sini? Mengapa ia seperti ini? Apa yang membentuk kebudayaan ekonomi dan politik Desa-desa di wilayah Cianjur Selatan?
Jalan-jalan Pagi Sebagai Praktik Imajinasi Sosiologi. Dengan seorang kawan, saya memulai menelusuri rasa ingin tahu masing-masing.Â
Kami menelusurinya dengan mendaki sebuah bukit perkebunan teh yang masih rapi, hijau, juga udara dingin yang mengikuti lubang hidung. Dan, beberapa sampah dari bungkusan plastik yang berserak di pinggir jalan dan di bawah pohon teh.
Seorang ibu dengan kepala berkupluk berpapasan dan tersenyum. Dalam bahasa Sunda, ia bertanya. Kawan saya lantas menjelaskan, "Ditanya mau kemana."
Langkah kami terus mendaki, melintas di bawah sebuah tower telekomunikasi. Tak jauh di bawah sana, atap pemukiman mulai terlihat. Sebentar saja, kami sudah tiba di puncak bukit.
"Akhirnya bisa tiba di sini," sambil terkekeh saya bilang begitu. "Masih bagus ya," balas teman saya itu.Â
Dia juga seorang Sunda yang berasal dari wilayah Bogor. Perkebunan teh seharusnya bukan tempat yang asing baginya. Tidak seperti saya, seorang yang (ter)asing.
Mengapa perkebunan teh?Â
Pada mulanya, perkebun teh adalah semacam lukisan surga kecil yang dipelihara televisi di ingatan seorang bocah. Terutama di tahun 1990-an, ketika TVRI adalah satu-satunya tempat dimana kita bisa melihat Indonesia yang berbeda dalam produksi tontonan.
Perkebunan teh adalah sebuah tempat dimana nasionalisme dititipkan. Ia seringkali muncul dalam backsound lagu-lagu yang nasionalistik. Semacam lagu Rayuan Pulau Kelapa.Â
Perkebunan teh dan televisi adalah contoh bagi usaha dari teknologi tontonan menanam cinta paling nasionalis bagi negeri.
Mungkin karena itu, ketika berdiri di tengah-tengah perkebunan teh dan udara pedesaan yang sejuk, saya merasakan perasaan yang tenang. Perasaan tenang yang sementara, tentu saja, tapi penting di hari-hari menjelang Pemilihan Umum.
Lebih persisnya: bagaimanakah kita membayangkan kehidupan pedesaan dan jelata di tengah reproduksi kekuasaan.
Mengapa harus seperti itu? Sebab beberapa gejala di bawah ini.
Pertama, perseteruan elite yang terus-terusan diproduksi menjadi wacana mayor oleh media massa.Â
Seperti tak ada periwstiwa lain yang penting dan seharusnya diutamakan ketimbang urusan elite. Seolah-olah saja karena mereka berebut keterpilihan, kemudian bertengkar atau tidak, lantas para pendukungnya yang sederhana itu bakal ikut-ikutan terseret arus.
Media massa, terutama dengan modal besar, berlomba-lomba menjadi pembentuk opini. Kelindan antara penguasa dan pemilik media membuat hal semacam ini tidak cukup memberi kita alternatif. Â Â
Maka, tempat seperti perkebunan teh adalah sebuah jeda sekaligus pengingat jika negeri ini harus selalu selamat dari kebodohan elite-elitenya.
Di tempat ini, ada keheningan, kesederhanaan, dan yang sama pentingnya, adalah keramahtamahan yang tulus. Hidup yang semacam ini--hening, sederhana, tulus dan ramah--jelas adalah perkara yang pura-pura dalam elitisme politik.
Kedua, mimpi akan masa depan sebuah bangsa tidak pernah benar-benar bertahan tanpa memahami penderitaan dari masa lalu jelata.Â
Demikian juga dengan riwayat perkebunan teh di mana-mana. Selalu ada jejak (kuasa) kolonial hingga jerit penderitaan pribumi. Tuan-tuan dari  utara itu pergi dan penderitaan itu masih sesekali muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih baru.Â
Tetapi, penderitaan tidak boleh menghancurkan harapan bersama.Â
Di perkampungan yang hidup bertetangga dengan perkebunan teh, boleh dikata, harapan tersebut tumbuh dalam skala yang di sebut Desa. Ia seringkali tidak terkatakan dalam baliho-baliho caleg yang berderet di sepanjang jalan.Â
Ia tumbuh dalam denyut nadi mereka yang pergi ke kebun setiap pagi, tidak muluk-muluk. Namun bekerja layaknya energi para penyintas.Â
Masa lalu dan jejak panjangnya yang menyusup kedalam tatanan hidup adalah sejenis sumberdaya bagi masa depan.Â
Seperti pesan George Orwell dalam novel 1984: "Barang siapa mengendalikan masa lalu, mengendalikan masa depan. Barang siapa mengendalikan hari ini, ia mengendalikan masa lalu."
Ketiga, jelata dan nasibnya yang seolah berjalan di tempat tapi tidak membuat mereka berhenti. Mereka adalah kekuatan yang tidak bicara.
Di sekitar perkebunan teh, di antara udara dingin dan cahaya mentari pagi, ada kepulan asap putih yang bergerak lambat. Ia seperti menitipkan pesan tentang kenikmatan sederhana dari tungku yang berisi kayu terbakar.Â
Serasa pagi yang merangkak lambat menjadi sempurna dengan kepulan asap yang semacam ini. Akan tetapi, imajinasi sosiologis kita sebaiknya diperluas.
Misalnya dengan pelukisan begini.Â
Dari perjumpaan pagi, perkebunan teh, dan asap putih dari dapur, ia mengajak kita merenungkan wajah-wajah buruh perkebunan teh atau, mungkin, keluarga petani dengan jumlah anak yang lebih dari dua. Mereka adalah kumpulan wajah di mana negera tidak selalu bisa mendengar yang dikeluhkan sehari-hari.
Meeka ada di sini, bertahun-tahun, bahkan bergenerasi. Dari garis nasib ini, mereka mungkin tidak pernah memiliki mimpi yang lain. Tapi, mereka tetap pergi ke bilik suara di setipa musim pemilu tiba.
Post-Script. Perkebunan teh atau persawahanan atau tempat-tempat yang merawat kita dengan suasana pedesaan adalah ruang yang hidup dan aktif.
Sebab itu, ia selalu bisa menjadi arena dari persilangan banyak perkara. Entah sejarah, kekuasaan, nasib jelata atau kenangan-kenangan yang mengawetkan patah hati. Sejak dulu hingga era yang serba digital.
Tapi, setiap era bakalan menjadi sejarah kesengsaraan yang panjang jika kekuasaan tak sungguh melindungi jelata. Â
***
Cianjur Selatan, sebelum perpisahan tahun 2023Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H