Di sekitar perkebunan teh, di antara udara dingin dan cahaya mentari pagi, ada kepulan asap putih yang bergerak lambat. Ia seperti menitipkan pesan tentang kenikmatan sederhana dari tungku yang berisi kayu terbakar.Â
Serasa pagi yang merangkak lambat menjadi sempurna dengan kepulan asap yang semacam ini. Akan tetapi, imajinasi sosiologis kita sebaiknya diperluas.
Misalnya dengan pelukisan begini.Â
Dari perjumpaan pagi, perkebunan teh, dan asap putih dari dapur, ia mengajak kita merenungkan wajah-wajah buruh perkebunan teh atau, mungkin, keluarga petani dengan jumlah anak yang lebih dari dua. Mereka adalah kumpulan wajah di mana negera tidak selalu bisa mendengar yang dikeluhkan sehari-hari.
Meeka ada di sini, bertahun-tahun, bahkan bergenerasi. Dari garis nasib ini, mereka mungkin tidak pernah memiliki mimpi yang lain. Tapi, mereka tetap pergi ke bilik suara di setipa musim pemilu tiba.
Post-Script. Perkebunan teh atau persawahanan atau tempat-tempat yang merawat kita dengan suasana pedesaan adalah ruang yang hidup dan aktif.
Sebab itu, ia selalu bisa menjadi arena dari persilangan banyak perkara. Entah sejarah, kekuasaan, nasib jelata atau kenangan-kenangan yang mengawetkan patah hati. Sejak dulu hingga era yang serba digital.
Tapi, setiap era bakalan menjadi sejarah kesengsaraan yang panjang jika kekuasaan tak sungguh melindungi jelata. Â
***
Cianjur Selatan, sebelum perpisahan tahun 2023Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H