Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perkebunan Teh dan Hari-hari Sebelum Pemilu

9 Februari 2024   10:32 Diperbarui: 16 Februari 2024   06:47 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia juga seorang Sunda yang berasal dari wilayah Bogor. Perkebunan teh seharusnya bukan tempat yang asing baginya. Tidak seperti saya, seorang yang (ter)asing.

Hamparan kebuh teh dan jalan semen menuju perkampungan | Dok; S Aji
Hamparan kebuh teh dan jalan semen menuju perkampungan | Dok; S Aji
Mengapa perkebunan teh? 

Pada mulanya, perkebun teh adalah semacam lukisan surga kecil yang dipelihara televisi di ingatan seorang bocah. Terutama di tahun 1990-an, ketika TVRI adalah satu-satunya tempat dimana kita bisa melihat Indonesia yang berbeda dalam produksi tontonan.

Perkebunan teh adalah sebuah tempat dimana nasionalisme dititipkan. Ia seringkali muncul dalam backsound lagu-lagu yang nasionalistik. Semacam lagu Rayuan Pulau Kelapa. 

Perkebunan teh dan televisi adalah contoh bagi usaha dari teknologi tontonan menanam cinta paling nasionalis bagi negeri.

Mungkin karena itu, ketika berdiri di tengah-tengah perkebunan teh dan udara pedesaan yang sejuk, saya merasakan perasaan yang tenang. Perasaan tenang yang sementara, tentu saja, tapi penting di hari-hari menjelang Pemilihan Umum.

Lebih persisnya: bagaimanakah kita membayangkan kehidupan pedesaan dan jelata di tengah reproduksi kekuasaan.

Mengapa harus seperti itu? Sebab beberapa gejala di bawah ini.

Pertama, perseteruan elite yang terus-terusan diproduksi menjadi wacana mayor oleh media massa. 

Seperti tak ada periwstiwa lain yang penting dan seharusnya diutamakan ketimbang urusan elite. Seolah-olah saja karena mereka berebut keterpilihan, kemudian bertengkar atau tidak, lantas para pendukungnya yang sederhana itu bakal ikut-ikutan terseret arus.

Media massa, terutama dengan modal besar, berlomba-lomba menjadi pembentuk opini. Kelindan antara penguasa dan pemilik media membuat hal semacam ini tidak cukup memberi kita alternatif.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun