Dia juga seorang Sunda yang berasal dari wilayah Bogor. Perkebunan teh seharusnya bukan tempat yang asing baginya. Tidak seperti saya, seorang yang (ter)asing.
Mengapa perkebunan teh?Â
Pada mulanya, perkebun teh adalah semacam lukisan surga kecil yang dipelihara televisi di ingatan seorang bocah. Terutama di tahun 1990-an, ketika TVRI adalah satu-satunya tempat dimana kita bisa melihat Indonesia yang berbeda dalam produksi tontonan.
Perkebunan teh adalah sebuah tempat dimana nasionalisme dititipkan. Ia seringkali muncul dalam backsound lagu-lagu yang nasionalistik. Semacam lagu Rayuan Pulau Kelapa.Â
Perkebunan teh dan televisi adalah contoh bagi usaha dari teknologi tontonan menanam cinta paling nasionalis bagi negeri.
Mungkin karena itu, ketika berdiri di tengah-tengah perkebunan teh dan udara pedesaan yang sejuk, saya merasakan perasaan yang tenang. Perasaan tenang yang sementara, tentu saja, tapi penting di hari-hari menjelang Pemilihan Umum.
Lebih persisnya: bagaimanakah kita membayangkan kehidupan pedesaan dan jelata di tengah reproduksi kekuasaan.
Mengapa harus seperti itu? Sebab beberapa gejala di bawah ini.
Pertama, perseteruan elite yang terus-terusan diproduksi menjadi wacana mayor oleh media massa.Â
Seperti tak ada periwstiwa lain yang penting dan seharusnya diutamakan ketimbang urusan elite. Seolah-olah saja karena mereka berebut keterpilihan, kemudian bertengkar atau tidak, lantas para pendukungnya yang sederhana itu bakal ikut-ikutan terseret arus.
Media massa, terutama dengan modal besar, berlomba-lomba menjadi pembentuk opini. Kelindan antara penguasa dan pemilik media membuat hal semacam ini tidak cukup memberi kita alternatif. Â Â