Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Jasa Warung Kecil dalam Dua Sumbangsih

3 Oktober 2023   10:04 Diperbarui: 5 Oktober 2023   07:40 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung Kecil di Pemukiman | naviri.org

Percakapan tentang keberadaan, nasib, dan kenangan terhadap warung-warung kecil yang berjasa lantas musnah adalah membicarakan bagaimana masyarakat tumbuh dan patah.

Perjumpaan saya yang semakin akrab dengan jaringan minimarket Indomaret, Alfamart atau Alfamidi terjadi di kota-kota di Jawa, khususnya selama menghabiskan waktu di Jawa Timur. Ini terjadi di sekitar tahun 2014, di masa-masa menjelang Pemilihan Umum.

Di saat yang bersamaan, gerai pertama Indomaret baru dibuka di Manado (Tribun Manado 11/09/2014). Jika dibandingkan dengan yang terjadi di Jawa Timur, semisal di Malang, Manado mengalami "ketertinggalan" sekitar 14 tahun. 

Di Kota Malang, gerai Indomaret pertama dibuka pada 22 April 2000. Letaknya berada di Jalan Sarangan Nomor 42 A Lowokwaru (Malang Times Zone 01/01/2020). Sedangkan gerai paling pertama Indomaret dibuka di Ancol, Jakarta Utara 20 Juni 1988 (Wikipedia).

Sejak perjumpaan dengan jaringan ini, saya merasa ada daya dorong lain yang menggerakan desa-desa menuju kota, selain proyek ambisius seperti pembangunan mal, perhotelan, dan perumahan kelas menengah. 

Kini, tenaga dorong yang menyeragamkan itu berhubungan dengan konsumsi barang-barang keperluan yang sebelumnya tidak cukup dilayani warung tradisional. 

Warung Kecil di Pemukiman | naviri.org
Warung Kecil di Pemukiman | naviri.org

Dalam rangkaian dinamis konsumsi kolektif ini, apa yang membentuk preferensi seseorang sebagai penduduk kota sedang dipindahkan ke desa-desa. Apalagi, jaringan minimarket itu belakangan menyediakan layanan transaksi non-tunai.

Karena itu, kehadiran gerai dari jaringan ini akan memberi perubahan pada pola orang desa mengonsumsi. Bukan saja pada jenis yang lebih beragam. 

Di sisi yang lain, boleh dikata, sejarah perkembangan jaringan minimarket ini menandai gerak ekspansi dari Barat ke Timur. 

Ia menandai kisah pergerakan dari pusat (centre) ke pinggiran (periphery), dari wilayah yang padat ke wilayah yang sepi. Dalam ekspansi inilah, kita melihat nasib surut dari warung-warung tradisional yang umumnya berada di sekitar pemukiman. 

Bukan sedikit dari warung-warung kecil ini yang tumbang. Atau kalaupun bertahan adalah cara yang sebisa-bisanya. 

Seperti alunan musik yang getir di pusat nafas jelata. Mati segan, hidup ogah-ogahan. Hingga yang tersisa adalah kenang-kenangannya. 

Dalam niat membicarakan kenang-kenangan itulah, warung kecil bukanlah sebuah toko dalam artian fisik dan ekonomi belaka. Ini berarti sebuah tempat yang difungsikan untuk menjual barang-barang keperluan sehari-hari di sebuah pemukiman penduduk. 

Akan tetapi, warung yang sederhana ini sekaligus adalah unit sosial di mana ia mengantarai hubungan-hubungan sosial yang saling percaya, akrab, karena itu harmonis.

Lantas, apa kenangan paling mengakar dari perjalanan hidup bersama warung kecil yang jasanya tidak sesederhana yang disediakan lewat barang-barang keperluan sehari-hari?

Saya kira ada dua sumbangsihnya yang akan selalu membekas dalam ingatan. 

Yang pertama, adalah ketika warung sederhana ini berfungsi menjaga masa kecil yang menyenangkan. Manakala ia menjadi tempat untuk berutang apa saja, terutama jajanan.

Di masa kecil yang sederhana--sebagai anak dari sepasang guru--warung seperti ini hanya berjarak 50 meter dari rumah kami di Perumnas IV, Jayapura. Warung ini milik suami istri dari Toraja dan Minahasa; keluarga Kristiani yang taat dengan satu anak lelaki.

Karena ibu saya selalu harus ke sekolah pagi-pagi sekali dan pulang menjelang sore, maka tidak tersedia cukup waktu untuk menyiapkan makanan. Kecuali menanak nasi dengan sayur dan sambal.

Maka jika tak ada cukup lauk di rumah, ibu saya selalu berpesan, "Kalau perlu apa-apa, ambil saja di Mama Rizki."

Jadi, sesekali saya pergi ke warung milik Mama Rizki. Kebanyakan, seingat saya, untuk mengambil mi instan dan telur. Hanya perlu direbus sebentar dan siap disantap. 

Kemudian di setiap akhir bulan, ketika negara sudah membayar lelah ibu saya, utang-utang itu dibereskan.

Lambat laun, seiring waktu, cerita perjumpaan, dan pada akhirnya perpisahan, ibu saya tetap memelihara komunikasi dengan pemilik warung yang baik hati itu. Ibu saya yang sudah bermukim di Kulonprogo, Yogyakarta tetap tahu jika si Rizki sudah bekerja di sebuah bank dan menetap di sebuah kota di Papua. 

Belakangan, Ibu saya memberi tahu jika Mama Rizki sudah meninggal. Ia dimakamkan di kampung halamannya, Kawangkoan, Minahasa.

Dari Jayapura, warung berjasa ini adalah saksi dari tetangga kami yang baik. Lebih dari fungsi sosial yang menyangga kesibukan ibu yang bekerja di luar rumah, mereka adalah tetangga yang menjaga harmoni sosial dalam kehidupan umat beragama yang majemuk.

Kedua, ketika warung sederhana ini bekerja sebagai penyelamat di masa-masa menempuh studi perguruan tinggi di Manado, Sulawesi Utara.

Warung ini dikelola keluarga dari Sangihe sekaligus keluarga Kristiani yang taat. Mereka memiliki kos-kosan dimana saya adalah salah satu penghuninya. Seperti kepunyaan Mama Rizki di Jayapura, warung ini hanya menjual barang keperluan sehari-sehari. 

Saat itu, setiap bulannya, saya hanya memiliki uang kiriman sebesar Rp300.000/bulan. Untuk membayar kos/bulan sebesar Rp.200.000. 

Menjaga makan yang normal seminggu pertama sebesar Rp100.000. Biasanya dengan makan nasi campur di warung depan gang. Sisanya membeli buku-buku tua yang murah, seperti yang sudah terabadikan ceritanya di Toko Buku Tua dan Tiga Perkara yang Musnah Bersamanya.

Jadi, bagaimana saya menjalani tiga minggu tersisa setiap bulan?

Hanya ada satu opsi yang masuk akal. Saya berutang Supermi Rasa Ayam Bawang di tiga minggu terakhir nyaris selama dua tahun di muka. 

Bukannya mengabaikan kritik George Aditjondro terhadap monopoli gandum dan kritik pangan di balik banjir mi instan. Namun kepraktisan, harga murah dan tidak kelaparan adalah musababnya. 

Akumulasinya, di tahun ketiga, tubuh ringkih saya dihantam demam Tipes Stadium 2. Dua minggu kemudian, dirawat khusus di RS. Siti Maryam.

Bagaimanapun haru biru penderitaan yang saya alami karena keputusan yang salah, warung kecil itu tetaplah penyelamat sekaligus peringatan. Sejak keluar dari perawatan khusus, saya memutuskan bercerai seumur hidup dan seluruh jiwa raga dengan Supermi Ayam Bawang.

Berbeda dengan ibu saya--salah satu pengorganisir hidup bertetangga terbaik yang pernah ada--kenangan akan pergulatan menjaga batas aman subsistensi mahasiswa selama di kos-kosan tidak saya rawat hingga kini. 

Sejak keluar di kos-kosan tersebut, saya memilih melakoni hidup sebagai nomad. Berpindah-pindah alias menumpang dari asrama ke asrama paguyuban.

Sejak hari itu juga, berpuluh tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan warung seperti ini di kaki Gunung Klabat, Minahasa Utara. Pemiliknya adalah keluarga dari Batak, juga keluarga Kristiani. 

Tentu saja saya tidak lagi datang untuk mengajukan utang. Namun saya masih mendapati percakapan berikut.

"Belum ke Kalimantan lagi?"

"Belum Om, masih di rumah dulu."

Pertanyaan yang mungkin basa-basi tapi rasanya lebih baik dari dialog di bawah ini. 

"Om, nda sekalian beli Teh Pucuk? Lagi promo. Beli dua cuma, bla..bla..bla.."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun