Bukan sedikit dari warung-warung kecil ini yang tumbang. Atau kalaupun bertahan adalah cara yang sebisa-bisanya.Â
Seperti alunan musik yang getir di pusat nafas jelata. Mati segan, hidup ogah-ogahan. Hingga yang tersisa adalah kenang-kenangannya.Â
Dalam niat membicarakan kenang-kenangan itulah, warung kecil bukanlah sebuah toko dalam artian fisik dan ekonomi belaka. Ini berarti sebuah tempat yang difungsikan untuk menjual barang-barang keperluan sehari-hari di sebuah pemukiman penduduk.Â
Akan tetapi, warung yang sederhana ini sekaligus adalah unit sosial di mana ia mengantarai hubungan-hubungan sosial yang saling percaya, akrab, karena itu harmonis.
Lantas, apa kenangan paling mengakar dari perjalanan hidup bersama warung kecil yang jasanya tidak sesederhana yang disediakan lewat barang-barang keperluan sehari-hari?
Saya kira ada dua sumbangsihnya yang akan selalu membekas dalam ingatan.Â
Yang pertama, adalah ketika warung sederhana ini berfungsi menjaga masa kecil yang menyenangkan. Manakala ia menjadi tempat untuk berutang apa saja, terutama jajanan.
Di masa kecil yang sederhana--sebagai anak dari sepasang guru--warung seperti ini hanya berjarak 50 meter dari rumah kami di Perumnas IV, Jayapura. Warung ini milik suami istri dari Toraja dan Minahasa; keluarga Kristiani yang taat dengan satu anak lelaki.
Karena ibu saya selalu harus ke sekolah pagi-pagi sekali dan pulang menjelang sore, maka tidak tersedia cukup waktu untuk menyiapkan makanan. Kecuali menanak nasi dengan sayur dan sambal.
Maka jika tak ada cukup lauk di rumah, ibu saya selalu berpesan, "Kalau perlu apa-apa, ambil saja di Mama Rizki."
Jadi, sesekali saya pergi ke warung milik Mama Rizki. Kebanyakan, seingat saya, untuk mengambil mi instan dan telur. Hanya perlu direbus sebentar dan siap disantap.Â